Part 2

Akhir-akhir ini aku merasa bahwa langit lebih muram dari biasanya, sama seperti suasana hatiku yang selalu diselimuti oleh sendu akibat kesalahanku yang membuat hubunganku dengannya berakhir. Hatiku masih sangat merindukan keberadaannya, merindukan tawanya, merindukan senyumnya. Sudah dua bulan lebih berlalu, keberadaannya masih menjadi satu-satunya hal yang aku harapkan ketika aku sedang lelah menghadapi dunia. Akan tetapi, aku sadar bahwa luka yang aku tancapkan di hatinya sudah sangat dalam. Aku tidak akan bisa mengobatinya begitu saja hanya dengan kata-kata.

Aku hanya duduk dan bergeming di kantin kampus sambil melihat suasana taman yang sangat lengang hari ini. Mungkin karena langit sedang mendung, orang-orang jadi tidak ingin menghabiskan waktu mereka di taman. Aku sudah berada di sini selama beberapa jam untuk merenungi betapa bodohnya aku karena sudah menyia-nyiakan seseorang yang sudah sangat menghargaiku dan memberi pengertian padaku. Aku ingin memperbaiki semuanya, tetapi rasanya sudah sangat terlambat. Lagi pula, aku juga tidak bisa memilih antara dia atau mimpiku yang sudah aku tekuni dari dulu.

Tanpa sadar, teman-teman satu timku menghampiriku yang tengah duduk sendirian. Kami tergabung dalam tim bulutangkis kampus. Mereka menepuk-nepuk pundakku dengan pelan, seakan mengerti apa yang tengah aku rasakan.

“Lo beneran udah berakhir sama Lena? Padahal kalian berdua bener-bener kelihatan banget saling dukung. Apalagi Lena, dia emang sepengertian itu orangnya, baik, gak gampang curiga juga.”

Ah, nama itu. Setiap mendengar nama itu, rasa rindu selalu menyeruak dalam hatiku, tetapi juga diiringi oleh perasaan menyesal. Omongan temanku barusan benar-benar menabur garam pada luka di hatiku yang membuatnya semakin perih.

“Arga, gue sama dia emang udah gak bisa sama-sama. We are not meant to be. Meskipun gue masih sayang sama dia, gue juga gak bisa milih antara dia sama mimpi gue. Keduanya sama-sama berarti,” ujarku sambil menghela napas.

Temanku yang lain menggelengkan kepalanya. Dia berdecak sebal. “Heh, malih, asal lo tau ya, Lena itu udah pengertian banget sama lo, dia gak pernah protes kalo nungguin lo di lapangan, dia gak pernah marah sama lo kalo tiba-tiba lo dipanggil sama pelatih buat latihan, dia juga mungkin kecewa karena lo suka batalin janji karena itu, tapi dia gak pernah marah sama lo. Lena gak pernah egois dan biarin lo ngejar mimpi lo buat jadi pebulutangkis ternama. Kenapa lo harus milih di antara keduanya kalo mereka bisa jalan beriringan. Lo aja yang terlalu ambisius buat latihan, ga pernah mau ambil waktu istirahat, yang ada di pikiran lo cuma buat jadi yang terbaik, yang terbaik, yang terbaik, sampe lupa kalo lo punya Lena. Bahkan mantan-mantan lo sebelumnya gak ada yang sesabar Lena. Sebenarnya, apa yang pengen lo kejar?”

Aku termenung ketika mendengar nasihat dari salah satu temanku itu. Dia memang memiliki perangai yang blak-blakan, sehingga kata-katanya sering menancap tepat sasaran di ulu hati. Namun, semua yang dia katakan adalah kebenaran untuk menampar orang-orang bodoh seperti aku.

“Bener tuh kata si Leo. Sebenarnya apa yang pengen lo kejar? Yang ada lo jadi nyiksa diri sendiri. Lo capek iya, kehilangan Lena iya. Gak kasian apa lo sama diri sendiri?” kata Sanjaya.

Lagi-lagi perkataan Sanjaya membuatku termenung. Sebenarnya apa yang aku kejar? Apakah aku memang ingin jadi pebulutangkis ternama, atau hanya ingin mendapat validasi dari orang tuaku bahwa pebulutangkis juga bisa menjadi sukses?

Arga menepuk bahuku lagi selama beberapa kali. “Daripada lo nyesel, mending perbaiki semuanya sekarang, deh. Si Lena juga kayanya murung terus akhir-akhir ini. Dia kan sayang banget sama lo. Gue udah temenan deket sama dia dari SMP, and I can tell that you are the only person who can make her very happy.”

Kata-kata Arga benar-benar menyentuh hatiku.

What if—


Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Leo menoyor kepalaku. “Nggak usah kebanyakan what if! Tuh orangnya lagi kesusahan bawa berkas-berkas penting. Lo samperin sono, jangan sampe gue gebuk ya lo. Jadi cowok jangan pasrah! Lo aja bisa ambis latihan, masa buat balikan sama Lena lagi kagak ambis. Payah lo.”

Aku meringis karena mendengar ucapan menohok dari Leo. Aku memperhatikan Lena yang sedang kesusahan berjalan karena membawa setumpuk berkas yang menghalangi pandangannya. Meski ragu, aku tetap bangkit dari dudukku dan menghampiri Lena.

Do you need help?”

Meski Lena tidak melihatku, aku tahu persis kalau dia menyadari keberadaanku hanya dengan mendengar suaraku.

Yes, please?” pinta Lena dengan nada memohon.

Aku dengan sigap mengambil setengah dari dokumen yang dibawa Lena dan membawanya di tanganku. Kini, aku bisa melihat wajah Lena sepenuhnya. Wajah yang sangat aku rindukan. Lena terlihat cukup lelah hari ini, terlihat dari matanya yang sayu dan bahunya yang terkulai. Apa yang terjadi dengannya?

Setelah aku membantunya membawa beekas-berkas penting ke ruang dosen, suasana di antara kami menjadi canggung. Lalu, sekarang apa yang harus aku lakukan?

Are you free tonight, Len?” tanyaku secara tiba-tiba. Aku bahkan terkejut pada diriku sendiri karena menanyakan hal itu kepada Lena.

Lena melirikku terkejut, lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “No, I’m not. I have to meet someone.”

“Siapa, Len?”

Baru saja Lena akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaanku, seorang laki-laki berjalan ke arah kami sambil memanggil nama Lena. Dia berdiri tepat di depan kami, tetapi perhatiannya hanya fokus kepada Lena.

“Malam ini jadi, kan? Di taman yang deket sama indekos lo?”

Lena menampilkan senyumnya sambil menganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan laki-laki itu. Setelah mendapatkan jawaban, laki-laki itu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun padaku karena aku pun tidak mengenalnya. Sekarang, aku benar-benar dibuat penasaran tentang laki-laki itu. Apakah kini posisiku sudah benar-benar tergantikan di hati Lena?

“Dia yang bakal kamu temuin di taman nanti?” tanyaku memastikan.

None of your business, Jehan. We’re over since two months ago. I still appreciate you as my friend, but I think you don’t have to know my personal things anymore,” tegas Lena.

Kata-kata yang dilontarkan oleh perempuan yang sepenuhnya masih menguasai hatiku, membuatku sedikit tersentil. Apakah itu artinya aku tidak memiliki kesempatan lagi? “So, does it mean I don’t have chance to mend everything between us?” tanyaku putus asa. Aku benar-benar kalah bahkan sebelum mulai berperang.

Lena menghela napas. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung melenggang pergi begitu saja. Apakah aku sudah menorehkan luka yang tidak bisa dia maafkan? Apakah aku harus benar-benar melupakan Lena dan menyingkirkannya dalam hatiku?

Setelah kejadian Lena yang tidak mengindahkan pertanyaanku, aku bercerita kepada teman-temanku bahwa sepertinya aku tidak lagi memiliki kesempatan untuk merebut hati Lena. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa prihatin kepadaku, tetapi mereka juga mengatakan bahwa inilah konsekuensi yang harus aku terima akibat perbuatanku dulu. Aku benar-benar menjadi orang paling menyedihkan saat ini. Aku benci dikasihani, tetapi aku memang pantas mendapatkannya.

Aku memutuskan untuk tidak latihan selama beberapa hari karena aku masih ingin berlarut dalam keputusasaanku. Untungnya, pelatihku mengerti dan membiarkanku untuk tidak mengikuti latihan. Toh, aku sudah bekerja keras selama beberapa bulan terakhir dan pelatihku sangat puas melihat perkembanganku.

Kakiku berjalan tak tentu arah di taman yang menjadi saksi bisu berakhirnya hubunganku dengan Lena. Entah kenapa, hati dan pikiranku membawaku ke tempat ini meskipun langit sepertinya tidak berpihak kepadaku. Awan-awan gelap masih menggantung sedari tadi pagi. Apakah langit sedang berduka bersamaku atau malah mengejekku?

Atau mungkin sebenarnya aku pergi ke tempat ini karena Lena mengatakan bahwa dia akan bertemu laki-laki yang mengobrol dengannya tadi? Bisa jadi. Aku juga berharap bahwa aku akan bertemu perempuan yang namanya masih terukir jelas di hatiku, tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Saat ini sudah pukul 11 malam, Lena tidak mungkin berada di luar indekosnya selarut ini.

Karena kakiku merasa cukup lelah, aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman. Bangku taman yang menjadi tempat perpisahanku dengan Lena. Entah kenapa, berada di tempat ini membuatku ingin menyiksa diriku sendiri.

Tak lama setelah aku duduk di kursi taman, aku melihat dua orang yang sedang berbincang di sebelah pohon besar yang ada di taman ini. Walaupun jarakku dengan kedua orang itu cukup jauh dan penerangan tergolong minim, aku masih tetap bisa mengenali postur tubuh Lena. Apa yang dia lakukan larut malam begini? Apakah mereka memang memiliki janji di saat seperti ini?

Aku benar-benar tidak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan, tetapi aku bisa melihat senyum Lena yang luntur, berganti dengan wajah kecewanya. Lawan bicara Lena pun melihat Lena dengan rasa bersalahnya. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?

Laki-laki itu memeluk badan rapuh Lena, lalu mengusap kepala Lena secara perlahan. Bukannya menjadi tenang, Lena justru semakin bergetar karena tangisnya yang hebat. Bersamaan dengan perginya laki-laki itu, hujan turun dengan hebatnya. Lena menutup mulutnya, seakan dia ingin menyembunyikan isakannya itu, padahal tidak akan ada orang yang mendengarnya. Lena jatuh terduduk di bawah pohon besar yang tetap tidak mampu melindunginya dari hujan yang sangat lebat ini.

Melihat Lena seperti itu menbuat hatiku benar-benar hancur. Air mataku ikut menetes. Sebenarnya hal berat apa yang harus dilalui oleh sosok rapuh seperti Lena? Kami menangis bersamaan di bawah rintik hujan yang akan meleburkan air mata kami.

Aku bangkit dari dudukku dan berlari menghampiri Lena yang sudah bersimpuh dengan lemah di bawah pohon. Tanpa ragu, aku membawanya ke dalam pelukanku dan menbiarkannya untuk menumpahkan segala beban yang dia punya.

Why does everyone leave me eventually? Do I really deserve to be happy? Apakah aku memang ditakdirkan untuk selalu sendirian di dunia ini? Is there someone who loves me genuinely to the point they won’t leave me alone? Kenapa dunia ini terlalu tidak adil?” Lena meraung dengat hebat sambil memukul-mukul dadaku dengan kencang. Aku tidak pernah melihat keadaan Lena yang sehancur ini. Aku merupakan salah satu alasan di balik kehancuran Lena. Aku menangis, hatiku menangis melihat betapa rapuhnya perempuan itu saat ini.

Tanganku mengusap rambut Lena yang sudah benar-benar dibasahi oleh air hujan. “No, Lena. You really deserve to be happy. Orang-orang yang ninggalin kamu benar-benar tidak bisa melihat seberapa berharganya diri kamu, termasuk aku. Mereka bodoh banget karena nyia-nyiain keberadaan kamu. I love you, Lena, I really do. I love you genuinely. Tapi aku malah terbutakan sama kebodohan aku. I will never leave you, Lena. I’m always here.”

Setelah mendengar kata-kataku, Lena menjadi sedikit tenang meskipun dia masih sesenggukan akibat tangisnya. Aku semakin memeluknya dengan erat untuk menyalurkan kekuatanku padanya.

I’m tired, Jehan,” kata Lena dengan suara parau.

“Iya, aku ngerti. Abis ini istirahat, ya?”

Lena hanya mengangguk lemah.

So, is there any chance for me to mend everything between us?” Aku berkata dengan cukup pelan, takut membuat Lena merasa tidak nyaman, tetapi ternyata Lena bisa mendengarnya di antara suara hujan deras yang turun dan suara petir yang menggelegar. Di bawah rintik hujan ini, aku berharap bahwa aku bisa memperbaiki semua yang telah terjadi di antara aku dan Lena.

I’m sorry, Jehan. It’s not that easy for me. But I guess I will try. Can you wait a little longer?”

Even if it takes forever, I will always wait if it’s about you, Len.

-TAMAT-

PART 1

Inspired by Alone in This World

Young K ft. Song Heejin

One thought on “Di Bawah Rintik Hujan

Leave a comment