Whether near or far, I’m always yours
Seorang perempuan saat ini tengah melangkah dengan gontai menuju kamar apartemennya. Kantung mata yang kian menghitam, punggung yang kian membungkuk, dan rambut panjangnya yang kian berantakan, membuatnya terlihat seperti zombie ketimbang manusia. Namun, untungnya, malam ini unit apartemen telah berubah lengang sehingga tidak akan ada yang berteriak ketakutan ketika melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul. Tentu saja, siapa yang akan berdiam diri di luar unit apartemen pada pukul 11 malam?
Selama melangkah, perempuan itu hanya menundukkan kepalanya, merasa lelah. Kantuk yang sedari tadi menyerangnya benar-benar sudah tidak bisa dia bendung lagi, pun tubuhnya terasa sangat remuk. Perempuan itu tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sedari tadi menunggunya dengan perasaan khawatir yang merundungnya. Tepat ketika mata orang itu menangkap kehadiran perempuan yang dinantinya, rasa khawatir itu sirna seketika, meski sepertinya perempuan itu belum menyadari keberadaannya.
“Herina.”
Satu kata yang diucapkan dengan lirih itu sukses membuat sang perempuan mendongak dengan cepat. Kini, perempuan bernama Herina itu telah menyadari keberadaan laki-laki yang sangat dirindukannya selama beberapa minggu belakangan ini. Bibir Herina kelu, tubuhnya mematung, tetapi matanya tidak bisa berbohong. Matanya memancarkan sorot kerinduan yang mendalam, disusul dengan buliran air yang perlahan menetes dari pelupuk matanya.
“Hugs?” Laki-laki itu merentangkan kedua tangannya, memberikan sinyal kepada sang perempuan untuk memeluknya.
Tanpa menunggu lama, Herina segera menghambur ke pelukan laki-laki itu. Herina benar-benar mendekap tubuhnya dengan erat seolah tidak ada hari esok, sembari menghidu aroma yang benar-benar dirindukannya. Aroma yang selalu membuatnya merasa seperti ‘pulang’ dan mampu mengembalikan energinya yang sudah terkuras habis. Pun yang laki-laki tidak keberatan dipeluk dengan sangat erat sampai dia merasa agak sesak, karena yang terpenting baginya, mereka dapat bertemu kembali setelah sekian lama untuk saling menumpahkan kerinduan masing-masing.
“Javin, boleh tolong biarin gini sebentar? I want to recharge my energy, I’m so tired,” pinta Herina kepada laki-laki itu dengan suara yang parau. Tangisannya belum mereda hingga sekarang.
Javin—laki-laki yang dipeluk oleh Herina—mengelus pelan punggung dari perempuan pemilik hatinya dengan pelan, berharap agar energi yang dia salurkan kepadanya dapat diterima dengan baik oleh Herina. Perempuan itu terlihat sangat lelah dan berantakan. “Of course, sweetheart, I’m all yours. I’m always yours.“
Keheningan menyelimuti mereka berdua, tetapi bukan keheningan yang membuat hati merasa tidak nyaman. Justru keheningan yang menguar di antara mereka dapat menghangatkan hati masing-masing. Sudah sangat lama mereka tidak merasakan momen seperti ini akibat jarak jauh yang membentang.
Setelah Herina merasa bahwa dirinya sudah lebih baik, perempuan itu melepas pelukan Javin dan menatap laki-laki itu dengan lekat. “Kamu kenapa tiba-tiba ada di sini? Kapan ke Indonesia? Bukannya terakhir kali kamu bilang kamu masih harus bantuin profesor kamu ya di US?” Rentetan pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Herina karena dia tidak menyangka bahwa laki-laki yang dirindukannya tiba-tiba saja berada di depan pintu kamar apartemennya, padahal mereka terpisah beribu kilometer jauhnya.
Javin menatap perempuan di hadapannya dengan hangat sambil mengusap-usap kepalanya dengan pelan. “Kamu sendiri, kenapa malah baru pulang jam segini? Ini udah jam sebelas malam lewat loh.” Bukannya menjawab, Javin malah balik bertanya kepada Herina.
Ditanya seperti itu membuat Herina mengatupkan bibirnya, lalu matanya kembali berkaca-kaca. Malam ini mood-nya benar-benar kacau jika dia diingatkan dengan kejadian yang menimpa dirinya tadi. “Tadi aku belum selesai penelitian sama dosenku. Terus banyak banget kendalanya. Setelah dicoba berulang kali, ternyata penelitiannya gagal. Aku capek banget karena gagal terus, harus berapa kali aku ulang penelitiannya sampai berhasil? Temen-temenku udah pada banyak yang sidang.” Akhirnya, air mata pun lolos dari pelupuk mata Herina.
“Hey, hey, it’s okay. You already did your best, sweetheart. Namanya penelitian pasti pernah gagal. Profesor aku pun bilang kamu harus berani rugi untuk mencapai sesuatu yang maksimal. Kalo capek istirahat dulu, ya? Jangan sering-sering penelitian sampe malem gini. Dan jangan badingin diri kamu sama orang lain, ya? Fokus sama diri sendiri aja, semua orang punya waktunya masing-masing.”
Javin berusaha menenangkan Herina lewat kata-kata hangatnya. Laki-laki itu tak tega ketika melihat air mata kembali jatuh dari pelupuk mata perempuan kesayangannya. Maka dari itu, kedua ibu jarinya terulur untuk mengusap air mata yang hampir menganak sungai di wajah Herina.
“Promise me you won’t be so hard on yourself again, okay?” tutur Javin sambil mengulurkan jari kelingking kepada Herina.
Herina mengangguk lemah. “Promise,” jawabnya sambil membalas uluran jari kelingking laki-laki itu.
Tiba-tiba, Herina memukul pundak lelaki itu dengan cukup keras. Javin jelas saja terkejut karena dia merasa dia tidak melakukan sesuatu. “Kebiasaan ya ngalihin topik. Pertanyaanku belum dijawab.”
Javin tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. Dia tetap tidak bisa menghindar lagi dari perempuan yang ada di hadapannya. “Kerjaan profesor aku udah beres semuanya, kok. Kamu nggak perlu khawatir. Maaf, ya, aku sempet tiba-tiba hilang dan nggak menghubungi kamu selama beberapa minggu karena aku sesibuk itu ngelarin skripsi sekaligus bantu profesorku. Aku tau aku salah. Aku pulang ke Indonesia buat nebus kesalahan aku, untuk waktu kita yang terbuang, aku mau kasih surprise.“
Herina menghela napas panjang mendengar penjelasan dari laki-laki pemilik hatinya. “You know? Sometimes I think that our relationship is on the edge, nggak bisa dipertahanin. Kita untuk sekadar berkabar aja nggak bisa, terus untuk apa? Untuk apa dipertahanin? Hubungan jarak jauh itu nggak akan pernah mudah. I even think you fall out love because of the distance between us, be it the distance between our existence and the distance between our heart. I’m tired with my thoughts, let alone I have to do so many college-related things, yet you are not here to reassure me that everything’s gonna be okay. I’m tired mentally and physically, Vin.”
“Her—I’m sorry. I’m really sorry because I made you think that way. I never meant to. You should know that wheteher near or far, my love is yours, and will always be yours. Aku minta maaf,” ucap Javin dengan sangat tulus, lalu berinisiatif memeluk tubuh mungil yang terlihat kuat di luar, tetapi rapuh di dalam. Ini memang salahnya. Javin memang tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi saat itu. Ketika muncul pun, jarang memberi kabar. Javin akan sangat mengerti betapa lelahnya Herina dengan ketidakjelasan dalam hubungan mereka.
“Please don’t go anywhere, Javin. Stay by my side.”
“I won’t go anywhere.” Javin melepas pelukannya, lalu memindahkan rambut Herina ke belakang telinga perempuan itu agar dia bisa melihat wajah Herina lebih jelas. “Aku juga udah bilang ke kamu tentang kepulangan aku ke Indonesia waktu di sini masih siang. Tapi kamu nggak bales sampe sekarang. Aku bener-bener khawatir.”
[ Any change in time, we are young again ]
“Lowbatt, sibuk penelitian, jadi nggak sempet bales. Gitu deh rasanya ditinggal tiba-tiba, tanpa kabar.”
“Iya deh, si paling sibuk penelitian. Mana diungkit mulu masalahnya,” ucap Javin dengan jahil yang langsung dihadiahi cubitan oleh Herina sehingga Javin mengaduh kesakitan.
“Diem, aku lagi mode galak! Gimana nggak diungkit, aku masih kesel sebenarnya karena kamu seenaknya aja ninggalin aku beberapa minggu belakangan ini. Mau marah tapi nggak bisa.”
“Ya makanya ini, sekarang aku di sini buat nebus semuanya.” Javin menimpali kata-kata Herina. “How about stargazing tonight?”
“Yeah, sure. Let’s go.” Tanpa berpikir dua kali, Herina langsung menerima ajakan Javin. Dia tidak memedulikan tubuhnya yang meronta untuk dibiarkan beristirahat. Dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan Javin, karena apapun yang dilakukannya dengan Javin, dia tidak akan merasa lelah. “Tapi penampilan aku jelek begini. Apa aku ganti baju aja, ya?”
“Nggak usah, you’re still pretty for me, sweetheart. Lagian siapa juga yang mau liat, udah malem begini, kok.”
Herina memutar kedua matanya dengan malas. “Ngegombal tapi nggak niat.”
Akhirnya, mereka pun berangkat ke salah satu bukit di Kota Bandung yang memungkinkan mereka untuk melihat hamparan bintang yang menghiasi langit malam. Kedua insan yang sudah lama dipisahkan oleh jarak dan waktu, kini sedang menikmati kehadiran masing-masing yang telah dinantikan sejak lama. Tanpa persiapan apapun, tanpa rencana apapun, hanya mereka berdua dan hati yang saling berbicara. Obrolan-obrolan kecil mereka lontarkan, tetapi terasa sangat berharga. Mereka seperti kembali ke masa ketika mereka tidak harus memikirkan tentang kejamnya dunia. Masa ketika mereka hanya memikirkan kesenangan masa muda. Masa ketika hanya ada mereka berdua, tanpa terpisahkan oleh jarak dan waktu.
Javin dan Herina telah sampai di bukit yang mereka tuju setelah menghabiskan waktu 30 menit perjalanan. Angin malam yang bertiup di sana membelai wajah kedua insan manusia itu dan menerbangkan rambut panjang Herina. Udara di sini cukup dingin, untungnya Javin dan Herina sama-sama memakai baju yang cukup tebal agar dinginnya udara tidak menusuk hingga ke tulang mereka.
Pemandangan hamparan bintang yang luas tersaji dengan indahnya. Mata kedua insan itu benar-benar tidak berpaling dari salah satu mahakarya Tuhan itu. Namun, Javin terlebih dahulu menolehkan kepalanya untuk memperhatikan Herina yang masih berdecak kagum melihat bintang-bintang yang tersebar di langit, diam-diam mengagumi mahakarya Tuhan yang lain.
Merasa diperhatikan, Herina pun memindahkan atensinya yang semula tertuju pada bintang-bintang itu kepada laki-laki yang sudah memiliki hatinya sejak lama. “Lihat bintangnya, jangan lihat aku,” ujar Herina dengan pelan untuk menyembunyikan rasa malunya akibat ditatap dengan intens oleh Javin.
“What do you mean? I’m looking at the stars right now, the stars that are so close to me, right in front of me. The most beautiful stars I’ve ever seen.“
Jangan tanya seberapa bersemu wajah Herina sekarang. Javin selalu bisa meluluhlantakkan hati Herina dengan kata-kata manisnya. Debaran yang perempuan itu rasakan masih sama, pun kupu-kulu yang bertebaran di perutnya tetap tidak sirna. Javin dan segala kepiawaiannya untuk merangkai kata-kata. Herina harap, Javin tidak melihat wajahnya yang kini semerah keipiting rebus. Seharusnya tidak, karena ini tengah malam dan tempat mereka berdiri minim pencahayaan.
Javin hanya tersenyum tipis kala tidak mendapatkan respons dari Herina. Meski tidak bisa melihat rona merah yang muncul di wajahnya, Javin yakin pasti perempuan itu kini sedang salah tingkah. Kalau salah tingkah selalu saja mati kutu, batin Javin. Akan tetapi, tingkah seperti itulah yang membuat Javin merasa gemas dengan Herina. I will protect her at all cost.
[ Lay us down, we’re in love ]
Mereka kini memutuskan untuk merebahkan diri di atas rerumputan yang tumbuh di bukit itu. Tidak peduli jika baju yang mereka kenakan akan berubah menjadi kotor. Javin menawarkan lengannya sebagai bantal kepala Herina, tidak peduli jika nanti tangannya akan mati rasa, dan Herina tidak menolak. Kini, tidak ada jarak dan waktu lagi yang memisahkan mereka. Mereka sedekat nadi, dengan hati yang saling bertaut semakin kuat. Tak akan mereka biarkan sedikit pun tautan itu melemah.
“Herina,” panggil Javin
“Hmm?” Herina hanya menjawab dengan dengungan pelan.
Ada jeda setelah Herina menjawab panggilan dari Javin.
“Whatever happens in the future, either it’s good or bad, I will always make sure to make you stay by my side. I know sometimes I’m being a jerk to let you cry or feel tired alone, but I will try my best to improve myself to the better. Because you are worth it, Her.”
“Hey, all of the sudden?”
Herina bangkit dari posisi tidurnya, lalu mengambil posisi menyamping dan menumpu tubuhnya dengan tangan kanannya agar dia bisa melihat wajah Javin dengan jelas. Posisi Herina kini sedikit lebih tinggi daripada Javin yang masih tidur telentang di atas rerumputan. Tangan Javin yang bebas kini dengan leluasa mengelus pipi Herina yang sehalus sutra.
“We’re just human, Vin. Sometimes we’re all being a jerk. Tapi kamu bisa ngakuin kesalahan kamu dan menebusnya, itu udah lebih dari cukup buat aku. Nggak cuma kamu, aku pun bakal selalu pastiin kalo kamu nggak pergi dari sisi aku, karena hubungan ini nggak cuma tentang satu orang aja, tapi tentang kita. Aku pun bakal selalu cari solusi untuk setiap masalah yang kita hadapi. Because you are worth it too, Vin. Kita sama-sama berjuang buat hubungan ini, ya?”
Javin mengangguk pelan. Mata Javin memancarkan keyakinan, keseriusan, dan ketulusan. Apapun tentang Herina, dia tidak akan pernah main-main. Javin bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan membiarkan Herina pergi dari hidupnya, kecuali jika maut yang memisahkan mereka. Herina adalah segala-galanya yang dia cari. Dia tidak butuh apa-apa lagi, hanya keberadaan Herina yang dia inginkan.
“No matter how many years will pass, no matter how many things will change, but my love towards you will remain the same, Her. Dari dulu, sejak awal kita ketemu, enam tahun yang lalu.”
“Me too, Vin. My love for you is everlasting.”
Javin bangkit dari posisi tidurnya, membuat Herina juga ikut bangkit. Mereka kini duduk saling berhadapan. Javin meraih tangan Herina dan menggenggamnya dengan sangat erat, seolah-olah Herina akan pergi dari sana. Entah mengapa, Javin melakukannya, tetapi dia benar-benar tidak ingin Herina berada jauh darinya. Dia tidak akan mengulangi kesalahannya.
“Aku berpikir untuk serius sama kamu, Her. Setelah lulus, aku mau memantaskan diri dulu di depan orang tua kamu. I will prove them that I can offer you everything, comfort, love, and material. Nggak, aku nggak akan melamar kamu sekarang. Tapi aku mau minta sama kamu buat nunggu aku, ya? Do you mind to wait for me, Her? Javin berkata dengan lugas, diikuti dengan pancaran keseriusan dari mata hitamnya yang terlihat seperti langit malam.
Herina sedikit terkejut dengan penuturan Javin barusan, tidak pernah menyangka bahwa hal seperti itu akan keluar dari mulut Javin. Namun, dia tidak bisa mengelak bahwa hatinya menghangat. Tanpa Javin harus membuktikan kepada orang tuanya pun, orang tua Herina pasti sudah merestuinya, karena mereka tahu seberapa keras Javin berusaha selama ini. Dan tanpa Javin minta pun, Herina akan selalu menunggunya hingga laki-laki itu siap.
“Aku juga bakal memantaskan diri, Vin. Nggak cuma kamu. Tunggu sampai aku siap menjalani semuanya. Do you mind to wait for me, Vin?”
“No matter how long it takes.”
“No matter how long it takes.”
– END –
Inspired by:
The End of All Things – Panic! At The Disco
26 Januari 2023