“Dulu Mama mengalami masa-masa sulit bersama saudara kembar Mama yang paling Mama sayangi. Kami sudah menelan banyak pil pahit yang ditawarkan oleh kehidupan. Oleh karena itu, kami tak pernah terpisahkan.” Mama tersenyum pilu sambil memandangi sebuah foto berisi dua remaja yang saling memamerkan senyum terbaik mereka di depan kamera.

Aku pikir, tidak seharusnya aku bertanya karena aku merasa bahwa mama menyimpan luka yang amat dalam mengenai saudara kembarnya itu. Mama tidak pernah sekalipun mengatakan padaku bahwa dia memiliki seorang saudara kembar. Maka dari itu, ketika melihat mama yang selalu memandangi foto itu dengan ekspresi wajah yang pilu, aku tidak bisa membendung rasa penasaranku. Jujur saja, aku cukup terkejut saat mengetahui bahwa mama memiliki saudara kembar. Mereka terlihat sangat mirip, dan tak terpisahkan. Aku bahkan tidak dapat membedakan mereka andai saja tidak ada sebuah tahi lalat di pipi kanan mama.

Dari sinilah cerita dimulai. Mama menceritakan tentang masa-masa kecilnya bersama saudara kembar yang sangat disayanginya. Mama cukup menyesal karena harus merantau untuk memperbaiki kehidupannya di kampung halaman. Mama bilang, saudara kembarnya telah terpisah jauh darinya, terbentang jarak yang sangat luas, mereka sudah tidak pernah bertatap muka setelah mama merantau. Untuk mencegah lukanya agar tidak semakin menganga, mama tidak pernah mengajakku barang sekali saja untuk pergi ke kampung halamannya.

***

Tetes-tetes air memutuskan untuk menjelajahi bumi pada sore hari ini. Langit terlihat sangat muram, semuram wajah mama yang kini sedang menyiapkan barang-barang yang akan digunakan untuk pergi liburan. Aku sangat mengerti bahwa mama tidak ingin membawaku ke kampung halamannya, karena sepertinya, tempat itu memiliki sejuta kenangan yang akan membawa mama pada realita yang menyakitkan. Aku sudah menolaknya mentah-mentah dengan mengatakan bahwa aku juga menikmati liburanku di sini, tetapi mama tetap kekeh pada pendiriannya.

Kenapa mama senang sekali menyiksa dirinya sendiri? Semenjak kepergian papa lima tahun yang lalu, mama semakin terlihat menanggung beban besar di pundaknya. Mama selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja, tetapi matanya tidak pernah berbohong. Ada segala macam perasaan yang tidak ingin kaulihat di sana, marah, kecewa, sedih, muram, dan perasaan lain yang menggambarkan ketidakbahagiaan. Sudah berapa banyak kehilangan yang mama alami?

“Maya, bajumu sudah dimasukkan semua, kan? Biar nanti malam kita tinggal berangkat,” seloroh mama sambil melipat bajunya dengan gesit.

Aku hanya mengangguk. “Mama nggak apa-apa menyetir malam-malam begini?” tanyaku dengan sedikit khawatir. Mama sedikit kurang tidur akhir-akhir ini karena urusan pekerjaan dan urusan lain yang tidak aku mengerti. “Kita bisa berangkat besok pagi saja. Mama terlihat sangat lelah.”

“Tidak. Mama tidak ingin menunda keberangkatan. Lagi pula, Mama masih cukup kuat untuk terjaga semalaman, sudah biasa. Keputusan sudah bulat.”

Aku menghela napas pasrah melihat kekeraskepalaan mama. Aku harap apa yang dikatakan mama benar adanya bahwa dia kuat untuk menyetir semalaman. Ada perasaan aneh yang menyelinap bahwa liburan kali ini akan menjadi liburan yang sedikit tidak biasa, dan ini bersangkutan dengan mama. Aku harap bukan hal-hal aneh yang terjadi.

Saat ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku dan mama sudah selesai melaksanakan makan malam, dan semua koper serta barang-barang sudah dimasukkan ke bagasi mobil. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa mama ingin berangkat jam sembilan malam. Namun aku sama sekali tidak melihat guratan letih di wajah mama. Sebaliknya, dia begitu semangat ketika tahu bahwa kita akan segera pergi ke kampung halamannya.

Terjadi percakapan kecil di dalam mobil. Mama menanyakan apakah aku mengalami kesulitan dalam akademik maupun kehidupan kuliahku. Setelah bertanya, mama memberiku seluruh wejangan yang sudah kudengar hampir puluhan kali hingga telingaku merasa bosan. Akan tetapi, aku mendengarkan mama dengan patuh dan tidak menginterupsi wejangan mama, karena aku tahu itulah cara mama menunjukkan rasa sayangnya padaku.

Setelah memberi wejangan-wejangan itu, kami semua diam dalam perjalanan. Mama tidak pernah sekalipun menceritakan suatu hal tentang dirinya, padahal aku sangat ingin mendengarnya. Jangankan suatu hal tentang mama, hari-hari mama di kantor pun aku tak pernah tahu bagaimana detailnya. Yang aku tahu tentang mama hanyalah tanggal lahirnya, tanggal pernikahannya dengan papa, dan cerita-cerita tentang detik-detik sebelum mama melahirkanku. Dan baru-baru ini, aku baru mengetahui bahwa mama memiliki saudara kembar yang tidak aku ketahui keberadaannya. Selebihnya, aku tidak tahu apapun tentang ibu kandungku sendiri.

Lagu lawas yang dinyanyikan oleh Sherina Munaf mulai memasuki pendengaranku. Ternyata mama menyambungkan radio dengan ponselnya melalui perangkat bluetooth. Mama mulai mendendangkan lagu itu dan sangat menghayatinya. Aku yang tidak terlalu hafal dengan lagunya, memilih untuk diam dan menikmati suara mama yang menurutku cukup merdu. Perasaanku mengatakan kalau ini adalah lagu favorit mama dan saudara kembarnya.

“Maya, kalau kamu ngantuk, tidur aja. Mama nggak apa-apa kok nyetir sendirian.”

Aku diam dan tidak menggubris perkataan mama karena aku memang merasa sangat mengantuk, tetapi aku tidak tega meninggalkan mama menyetir sendirian. Lalu, beberapa menit kemudian, aku menyerah dengan rasa kantukku dan memilih untuk memejamkan mata.

Beberapa jam kemudian, aku mulai terbangun dari tidurku. Sepertinya kami sudah sampai di tempat yang akan kami tempati selama liburan berlangsung. Mobil mama terparkir di sebuah halaman rumah yang sangat sederhana. Rumah itu bercat putih dan terlihat sangat tua, dan sepertinya sudah lama tidak ditinggali. Meski rumah itu terlihat tua, pekarangan rumah sangat terjaga dengan baik. Terdapat beberapa bunga anggrek di sisi kanan dan kiri pekarangan, pohon-pohon rindang yang menghiasi rumah itu, dan berbagai macam tanaman hias yang tidak aku ketahui namanya.

Aku cukup takjub dengan bagian depan rumah ini, terlihat sangat asri dan memanjakan mata. Aku menoleh ke samping kanan untuk melihat apakah reaksi mama sama dengan reaksiku. Namun, ekspresi yang aku dapatkan bukanlah apa yang aku harapkan, mama menatap rumah di hadapanku dengan pandangan kosong. Apa yang terjadi dengan mama?

“Mama, kita sudah sampai. Kenapa Mama bengong? Apa Mama baik-baik saja?” tanyaku berhati-hati sambil menepuk pundak mama. Mama sedikit terkejut dengan perlakukanku, lalu menunjukkan senyumnya yang sangat terlihat palsu. “Mama nggak apa-apa, ayo masuk. Ini sudah jam lima pagi, kamu harus lanjut istirahat supaya tidak lelah.”

Setelah mengatakan hal itu, mama segera keluar dari mobil untuk menurunkan barang-barang yang kami bawa. Tanpa basa-basi, aku ikut ke luar dari mobil dan membantu mama menurunkan barang-barang yang kami bawa. 

Saat aku berjalan memasuki rumah, aku merasakan ada sosok yang telah menempati rumah ini selama bertahun-tahun. Siapapun itu, aku rasa dia sangat menyambut kedatangan kami. Entahlah, hawa di rumah ini membuatku merasa bingung. Aku tidak tahu apakah mama merasakan hal yang sama padaku, atau ini hanyalah halusinasiku saja. Aku kembali meneliti ekspresi mama, tetapi tidak ada raut wajah apapun yang ditunjukkan mama. Datar-datar saja.

Kami mulai membereskan barang-barang kami di kamar masing-masing. Ada dua kamar yang tersedia di dalam rumah ini yang letaknya saling berhadapan. Kamar yang aku tempati tidak terlalu luas, tetapi tetap menawarkan rasa nyaman yang menjanjikan. Kasur yang ada di dalam kamar ini terlihat muat untuk satu sampai dua orang. Aku benar-benar tidak sabar untuk melanjutkan tidurku!

Namun, sebelum itu, aku harus menuntaskan panggilan alam yang sejak tadi aku tahan. Aku keluar kamar dan bertanya pada mama di mana letak kamar mandi di rumah ini. Mama memberitahuku untuk berjalan sampai ke belakang rumah, dan kamar mandi terletak di sebelah kanan gudang. Aku menemukannya dan segera menuntaskan panggilan alamku. Ketika aku sedang mencuci tanganku, terdengar suara benda jatuh di sebelah gudang. Apakah mama di sana?

Setelah memastikan tanganku benar-benar bersih, aku memutuskan untuk menyusul mama dan membantu apapun yang akan mama suruh. Ketika aku membuka pintu gudang, keadaannya sangat-sangat gelap sampai aku tidak bisa melihat apapun. Debu-debu beterbangan sehingga sampai aku mengalami bersin-bersin yang tak berkesudahan. Aku mencari saklar lampu untuk melihat apa-apa saja yang ada di dalam gudang, tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Semua barang terlihat bertumpuk rapi, tidak ada yang menunjukkan bahwa barang itu jatuh sebelumnya. Namun, tidak mungkin pendengaranku salah, aku benar-benar yakin bahwa suara benda jatuh itu berasal dari gudang!

Rasa penasaranku telah merebak sehingga aku memutuskan untuk memasuki gudang itu. Aku mengecek benda-benda yang terletak di sana yang mengindikasikan bahwa benda itu baru saja terjatuh. Setelah sepuluh menit berkeliling, aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Mungkin ini memang benar halusinasiku saja karena kekurangan tidur. Aku segera kembali ke kamar dan memutuskan untuk melanjutkan tidurku.

Beberapa hari telah berlalu semenjak aku mendengar suara barang yang terjatuh dari gudang. Ternyata itu bukan halusinasiku saja. Setiap aku keluar dari kamar mandi, pasti aku mendengar suara yang tidak tahu dari mana datangnya itu. Ketika aku memeriksanya, aku tidak menemukan apapun di dalam gudang, hasilnya nihil. Aku belum mengatakan apapun pada mama karena mama pasti tidak percaya dengan hal seperti itu.

Kali ini, aku kembali mendengar suara barang terjatuh dari kamar mandi. Meskipun aku tahu bahwa aku tidak akan mendapatkan hasil apapun, kakiku tergerak untuk melangkah menuju gudang. Mama sudah membersihkannya beberapa hari yang lalu sehingga sekarang aku tidak perlu bertemu dengan debu-debu yang menyakiti hidungku.

Aku mendesah kecewa saat lagi-lagi aku tidak menemukan apapun di dalam gudang. Hanya kardus-kardus yang bertumpuk di atas rak dan lantai. Namun, entah kenapa otakku menyuruhku melangkah mengelilingi gudang walaupun aku tahu aku tidak akan mendapat apapun. Saat sudah tidak ada lagi yang bisa aku lihat, aku berbalik dan berteriak saat sesosok perempuan berdiri di depanku. Matanya yang bolong dan memerah menatapku dengan sangat nyalang, lalu dia tersenyum lebar, sampai ke telinganya. Senyum itu sangat-sangat mengerikan sampai membuat jantungku hampir keluar dari tempatnya. Mulutku terasa terkunci karena kehadiran sosok itu. Air mata hampir saja keluar dari mataku jika saja aku tidak ingat untuk menahannya. Wajahnya yang penuh luka basah membuat badanku bergetar hebat. Aku memejamkan mataku, berharap agar sosok mengerikan itu segera pergi dari hadapanku.

“Datanglah besok ke tempat ini tepat jam dua belas malam. Ada hal yang ingin kuceritakan padamu,” katanya dengan suara yang agak melengking. Telingaku bahkan sampai berdenging mendengarnya.

Aku masih tetap memejamkan kedua mataku sampai aku menyadari bahwa tidak ada pergerakan yang berarti dari sosok itu. Akhirnya, aku membuka mata, lalu menghela napas sekencang-kencangnya. Badanku sangat lemas hanya karena berhadapan dengan sosok mengerikan itu. Kenapa sosok itu tidak menyakitiku? Kenapa dia malah menyuruhku datang saat jam dua belas malam? Apa yang kira-kira ingin dia sampaikan?

Keesokan harinya, aku menepati janji untuk datang saat pukul dua belas malam seperti yang dikatakan oleh sosok itu. Hawanya sangat berbeda, begitu dingin dan mencekam, seolah sosok itu bisa datang kapan saja untuk membuatku mengalami serangan jantung. Bulu kudukku meremang, keringat dingin mengucur dengan deras, tetapi aku tidak akan mundur karena aku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya.

Aku masuk ke gudang dan tidak menemukan sosok itu di sana. Kenapa malah dia yang tidak menepati janji?

Ketika aku membalikkan badanku, sosok itu terlihat sedang menyeringai lebar ke arahku. Aku terkejut dan menahan napasku, menahan diri untuk tidak berteriak. Kenapa dia bisa seseram itu? Apakah semua hantu memang gemar sekali mengagetkan manusia dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba?

“Duduk si sana,” perintahnya sambil menunjuk sebuah kursi yang berada di sebelah kiri pintu gudang. Tanpa basa-basi, aku langsung menurut untuk duduk di sana.

Sosok itu kemudian memejamkan matanya, hingga tiba-tiba sebuah buku melayang dari satu kardus yang berada di gudang. Aku melihatnya dengan rasa takjub sekaligus ngeri. Jadi, sosok itu bisa mengendalikan sebuah buku dengan pikirannya?

Buku itu terus melayang hingga berada di atas pangkuanku. Dia membuka matanya, kemudian menunjuk buku itu dengan tangannya. Sepertinya dia sedang menyuruhku untuk membuka buku yang bentuknya mirip buku harian. Saat tanganku menyentuh halaman pertama, tubuhku seperti terseret dalam ruang waktu, dan sampailah aku ke tempat yang sepertinya familier, tetapi aku tidak dapat mengingatnya.

Terlihat dua orang remaja perempuan yang sedang merawat seorang wanita paruh baya yang sedang sakit. Wajah mereka terlihat tidak begitu jelas. Mereka menangis dalam diam, seperti menanggung beban besar di pundak mereka. Mereka dengan telaten menyuapi wanita itu, mengompres kepalanya sambil memandikan badannya. Hatiku cukup terenyuh. Apakah aku akan merawat mama seperti itu ketika ia sudah renta nanti?

Tiba-tiba, latar tempat berganti menjadi sekolahan. Tunggu, tahun berapa ini? Kenapa semuanya masih serba jadul? Bangunannya tidak semodern bangunan saat ini. Ketika aku masih bertahan dengan kebingunganku, tiba-tiba, dua orang remaja perempuan tadi datang ke sebuah kelas dan duduk di tempat paling belakang. Tidak ada yang menghiraukan kedatangan mereka, tidak ada yang mengajak mereka mengobrol. Dua remaja itu merupakan contoh murid yang tidak populer di sekolahnya. “Mereka tidak memiliki teman karena mereka tidak memiliki apapun untuk dipamerkan,” kata sebuah suara. Kemudian, mereka dipanggil ke ruang kepala sekolah karena telah menunggak uang sekolah selama satu tahun.

Latar tempat berganti kembali menjadi sebuah rumah sakit. Seorang wanita paruh baya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dua orang remaja perempuan itu sedang menunggu di kamar rawat wanita itu. Wajah mereka terlihat mendung, muram, tak bersemangat. “Mereka berpikir bagaimana caranya untuk membayar tunggakan sekolah sekaligus biaya rumah sakit. Biaya-biaya itu mencekik leher mereka seolah tidak menginginkan mereka hidup.”

Kedua remaja perempuan itu memutuskan untuk bekerja keras agar mereka dapat bertahan hidup. Mereka berjualan makanan, menjadi penjaga kafe, membuatkan tugas orang lain, membuka jasa mengetik, menjadi supir, mengangkat kebutuhan sembako yang akan dikirimkan, hampir semua pekerjaan mereka lakukan agar setidaknya mereka dapat membayar biaya rumah sakit dan sekolah. Latar tempat terus berganti-ganti seiring cerita berjalan. “Kami tidak tahu apa itu menikmati masa muda.”

Akhirnya, kedua remaja perempuan itu lulus dari sekolah. Mereka sempat adu mulut karena salah satu dari mereka ingin melanjutkan pendidikan ke universitas yang berada di kota besar. Mereka berdebat tentang siapa yang akan menjaga ibu ketika salah satu dari mereka bekerja. Mereka berdebat tentang biaya kuliah jika salah satu dari mereka melanjutkan pendidikan ke kota besar. Mereka berdebat tentang tidak akan ada satupun yang akan membantu mereka ketika mereka mengalami musibah. Masing-masing remaja perempuan itu memiliki pendapat mereka sendiri, yang berujung mereka tak saling berbicara satu sama lain.

Perang dingin berlangsung selama satu minggu dengan keputusan bahwa salah satu dari mereka akan tetap pergi. Meski terasa berat untuk berpisah, akhirnya salah satu dari mereka mengiyakan dan mengikhlaskan.

Kehidupan mereka menjadi jauh lebih baik karena salah satu dari mereka pergi merantau. Mereka hidup dengan uang hasil bekerja, dan tak perlu pusing-pusing memikirkan biaya kuliah karena mereka mendapat beasiswa penuh dari pemerintah. Mereka saling menguatkan, saling menjaga, saling mendoakan satu sama lain meskipun terbentang jarak yang amat jauh. Biaya rumah sakit tak lagi menjadi batu sandungan yang besar bagi mereka.

“Kebahagiaan itu tak berselang lama.”

Tiba-tiba, keadaan wanita setengah baya itu memburuk. Salah satu remaja perempuan itu menelepon saudaranya yang jauh di sana untuk mengabarkan keadaan wanita itu. Ia meminta saudaranya untuk pulang dan mengurus ibu untuk sejenak. Namun, karena kesibukan kuliah kuliah dan bekerja, saudaranya itu tidak dapat pulang dan mengurus ibu mereka barang sejenak. 

Beberapa bulan kemudian … hidup wanita setengah baya itu tidak dapat tertolong lagi. Tuhan rupanya lebih menyayangi ibu mereka, dan menginginkan ibu mereka untuk pulang secepatnya. Tentu saja, salah satu anak perempuannya terpukul, stress, dan tidak bisa menerima kenyataan. Maka dari itu, ia menelepon saudaranya yang merantau, memberitahu bahwa ibu mereka sudah tidak berada di dunia yang sama lagi dengan mereka. Saudaranya itu berkata bahwa dia akan pulang, dan mereka akan mengurus jasad ibu bersama-sama.

Ketika remaja itu ingin menjemput saudaranya di bandara… dia tidak fokus saat menyebrang untuk mencari kendaraan umum karena terlalu memikirkan kepergian ibunya. Akhirnya, sebuah mobil yang melaju cepat menghantam tubuhnya dengan keras hingga tubuh itu terpental jauh serta mengeluarkan darah. Dia dinyatakan meninggal di tempat karena tubuh yang sudah hancur lebur.

Tubuhku kembali terseret ke gudang setelah cerita itu ditutup oleh kecelakaan yang mengenaskan. Tiba-tiba saja aku menangis, seolah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh kedua remaja perempuan itu. Musibah selalu datang bak air bah dalam kehidupan mereka yang menuntut mereka untuk terus berjuang dan berjuang. Ketika kehilangan orang kesayangan berada di depan mata, mereka tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk berjuang.

Mataku terarah pada sosok di depanku. Ia menatapku dengan kedua matanya yang menyeramkan. Aku rasa itu adalah ceritanya dengan saudara perempuannya. Aku bisa merasakan bahwa sosok itu sedang menahan rasa sedihnya. Aura yang dipancarkan oleh sosok itu… aku bisa merasakannya.

Akan tetapi… tunggu dulu… kenapa aku baru sadar bahwa cerita ini sangat mirip dengan apa yang mama ceritakan padaku tempo hari?!

-TAMAT-

Cerita pendek ini pernah dipublikasikan di LINE TODAY dengan judul Dua Sosok dalam Kenangan Pilu dalam event lomba menulis yang bertema Girl Empowerment. Sehubungan dengan tidak aktifnya platform tersebut, maka versi orisinal dari cerita ini dipublikasikan di blog pribadiku.

Leave a comment