Cerita Mini

“Hei, kau kenapa?” tanyaku dengan panik saat melihat air mata mengalir turun ke pipinya.

Sepertinya, melihat kedatanganku membuatnya terkejut. setelahnya, dia buru-buru mengusap air matanya, walaupun dia tahu hal itu adalah kesia-siaan.

Dia tersenyum, memaksakan senyum lebih tepatnya. “Tidak, aku tidak apa-apa, kok. Aku hanya teringat cerita sedih yang kemarin kubaca. Jadi, tidak ada apa-apa, kok, tenang saja.”

Aku menggeleng. “Kamu benar-benar pembohong yang payah.”

Dia diam saja.

“Ayolah, kau sudah berjanji untuk bersikap terbuka padaku. Sekarang, ayo buktikan janji itu padaku. Siapa tahu, aku bisa membantu memberi solusi pada masalahmu, kan?” Aku menghela napas, serta menatapnya penuh harap.

Dia mengedikkan bahu. “Aku hanya merasa tidak diinginkan dan dibutuhkan. Aku juga merasa menjadi orang yang tidak berguna, sering kali merepotkan orang lain. Setiap mengingat hal itu, air mataku selalu saja turun.” Dia berhenti berbicara, lalu tersenyum menatapku. “Nah, apa solusi untuk masalahku yang satu ini?”

Kali ini, aku yang diam.

Everlasting Love is Ours

Whether near or far, I’m always yours

Seorang perempuan saat ini tengah melangkah dengan gontai menuju kamar apartemennya. Kantung mata yang kian menghitam, punggung yang kian membungkuk, dan rambut panjangnya yang kian berantakan, membuatnya terlihat seperti zombie ketimbang manusia. Namun, untungnya, malam ini unit apartemen telah berubah lengang sehingga tidak akan ada yang berteriak ketakutan ketika melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul. Tentu saja, siapa yang akan berdiam diri di luar unit apartemen pada pukul 11 malam?

Selama melangkah, perempuan itu hanya menundukkan kepalanya, merasa lelah. Kantuk yang sedari tadi menyerangnya benar-benar sudah tidak bisa dia bendung lagi, pun tubuhnya terasa sangat remuk. Perempuan itu tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sedari tadi menunggunya dengan perasaan khawatir yang merundungnya. Tepat ketika mata orang itu menangkap kehadiran perempuan yang dinantinya, rasa khawatir itu sirna seketika, meski sepertinya perempuan itu belum menyadari keberadaannya.

“Herina.”

Satu kata yang diucapkan dengan lirih itu sukses membuat sang perempuan mendongak dengan cepat. Kini, perempuan bernama Herina itu telah menyadari keberadaan laki-laki yang sangat dirindukannya selama beberapa minggu belakangan ini. Bibir Herina kelu, tubuhnya mematung, tetapi matanya tidak bisa berbohong. Matanya memancarkan sorot kerinduan yang mendalam, disusul dengan buliran air yang perlahan menetes dari pelupuk matanya.

Hugs?” Laki-laki itu merentangkan kedua tangannya, memberikan sinyal kepada sang perempuan untuk memeluknya.

Tanpa menunggu lama, Herina segera menghambur ke pelukan laki-laki itu. Herina benar-benar mendekap tubuhnya dengan erat seolah tidak ada hari esok, sembari menghidu aroma yang benar-benar dirindukannya. Aroma yang selalu membuatnya merasa seperti ‘pulang’ dan mampu mengembalikan energinya yang sudah terkuras habis. Pun yang laki-laki tidak keberatan dipeluk dengan sangat erat sampai dia merasa agak sesak, karena yang terpenting baginya, mereka dapat bertemu kembali setelah sekian lama untuk saling menumpahkan kerinduan masing-masing.

“Javin, boleh tolong biarin gini sebentar? I want to recharge my energy, I’m so tired,” pinta Herina kepada laki-laki itu dengan suara yang parau. Tangisannya belum mereda hingga sekarang.

Javin—laki-laki yang dipeluk oleh Herina—mengelus pelan punggung dari perempuan pemilik hatinya dengan pelan, berharap agar energi yang dia salurkan kepadanya dapat diterima dengan baik oleh Herina. Perempuan itu terlihat sangat lelah dan berantakan. “Of course, sweetheart, I’m all yours. I’m always yours.

Keheningan menyelimuti mereka berdua, tetapi bukan keheningan yang membuat hati merasa tidak nyaman. Justru keheningan yang menguar di antara mereka dapat menghangatkan hati masing-masing. Sudah sangat lama mereka tidak merasakan momen seperti ini akibat jarak jauh yang membentang.

Setelah Herina merasa bahwa dirinya sudah lebih baik, perempuan itu melepas pelukan Javin dan menatap laki-laki itu dengan lekat. “Kamu kenapa tiba-tiba ada di sini? Kapan ke Indonesia? Bukannya terakhir kali kamu bilang kamu masih harus bantuin profesor kamu ya di US?” Rentetan pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Herina karena dia tidak menyangka bahwa laki-laki yang dirindukannya tiba-tiba saja berada di depan pintu kamar apartemennya, padahal mereka terpisah beribu kilometer jauhnya.

Javin menatap perempuan di hadapannya dengan hangat sambil mengusap-usap kepalanya dengan pelan. “Kamu sendiri, kenapa malah baru pulang jam segini? Ini udah jam sebelas malam lewat loh.” Bukannya menjawab, Javin malah balik bertanya kepada Herina.

Ditanya seperti itu membuat Herina mengatupkan bibirnya, lalu matanya kembali berkaca-kaca. Malam ini mood-nya benar-benar kacau jika dia diingatkan dengan kejadian yang menimpa dirinya tadi. “Tadi aku belum selesai penelitian sama dosenku. Terus banyak banget kendalanya. Setelah dicoba berulang kali, ternyata penelitiannya gagal. Aku capek banget karena gagal terus, harus berapa kali aku ulang penelitiannya sampai berhasil? Temen-temenku udah pada banyak yang sidang.” Akhirnya, air mata pun lolos dari pelupuk mata Herina.

Hey, hey, it’s okay. You already did your best, sweetheart. Namanya penelitian pasti pernah gagal. Profesor aku pun bilang kamu harus berani rugi untuk mencapai sesuatu yang maksimal. Kalo capek istirahat dulu, ya? Jangan sering-sering penelitian sampe malem gini. Dan jangan badingin diri kamu sama orang lain, ya? Fokus sama diri sendiri aja, semua orang punya waktunya masing-masing.”

Javin berusaha menenangkan Herina lewat kata-kata hangatnya. Laki-laki itu tak tega ketika melihat air mata kembali jatuh dari pelupuk mata perempuan kesayangannya. Maka dari itu, kedua ibu jarinya terulur untuk mengusap air mata yang hampir menganak sungai di wajah Herina.

Promise me you won’t be so hard on yourself again, okay?” tutur Javin sambil mengulurkan jari kelingking kepada Herina.

Herina mengangguk lemah. “Promise,” jawabnya sambil membalas uluran jari kelingking laki-laki itu.

Tiba-tiba, Herina memukul pundak lelaki itu dengan cukup keras. Javin jelas saja terkejut karena dia merasa dia tidak melakukan sesuatu. “Kebiasaan ya ngalihin topik. Pertanyaanku belum dijawab.”

Javin tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. Dia tetap tidak bisa menghindar lagi dari perempuan yang ada di hadapannya. “Kerjaan profesor aku udah beres semuanya, kok. Kamu nggak perlu khawatir. Maaf, ya, aku sempet tiba-tiba hilang dan nggak menghubungi kamu selama beberapa minggu karena aku sesibuk itu ngelarin skripsi sekaligus bantu profesorku. Aku tau aku salah. Aku pulang ke Indonesia buat nebus kesalahan aku, untuk waktu kita yang terbuang, aku mau kasih surprise.

Herina menghela napas panjang mendengar penjelasan dari laki-laki pemilik hatinya. “You know? Sometimes I think that our relationship is on the edge, nggak bisa dipertahanin. Kita untuk sekadar berkabar aja nggak bisa, terus untuk apa? Untuk apa dipertahanin? Hubungan jarak jauh itu nggak akan pernah mudah. I even think you fall out love because of the distance between us, be it the distance between our existence and the distance between our heart. I’m tired with my thoughts, let alone I have to do so many college-related things, yet you are not here to reassure me that everything’s gonna be okay. I’m tired mentally and physically, Vin.”

“Her—I’m sorry. I’m really sorry because I made you think that way. I never meant to. You should know that wheteher near or far, my love is yours, and will always be yours. Aku minta maaf,” ucap Javin dengan sangat tulus, lalu berinisiatif memeluk tubuh mungil yang terlihat kuat di luar, tetapi rapuh di dalam. Ini memang salahnya. Javin memang tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi saat itu. Ketika muncul pun, jarang memberi kabar. Javin akan sangat mengerti betapa lelahnya Herina dengan ketidakjelasan dalam hubungan mereka.

Please don’t go anywhere, Javin. Stay by my side.”

I won’t go anywhere.” Javin melepas pelukannya, lalu memindahkan rambut Herina ke belakang telinga perempuan itu agar dia bisa melihat wajah Herina lebih jelas. “Aku juga udah bilang ke kamu tentang kepulangan aku ke Indonesia waktu di sini masih siang. Tapi kamu nggak bales sampe sekarang. Aku bener-bener khawatir.”

[ Any change in time, we are young again ]

Lowbatt, sibuk penelitian, jadi nggak sempet bales. Gitu deh rasanya ditinggal tiba-tiba, tanpa kabar.”

“Iya deh, si paling sibuk penelitian. Mana diungkit mulu masalahnya,” ucap Javin dengan jahil yang langsung dihadiahi cubitan oleh Herina sehingga Javin mengaduh kesakitan.

“Diem, aku lagi mode galak! Gimana nggak diungkit, aku masih kesel sebenarnya karena kamu seenaknya aja ninggalin aku beberapa minggu belakangan ini. Mau marah tapi nggak bisa.”

“Ya makanya ini, sekarang aku di sini buat nebus semuanya.” Javin menimpali kata-kata Herina. “How about stargazing tonight?”

Yeah, sure. Let’s go.” Tanpa berpikir dua kali, Herina langsung menerima ajakan Javin. Dia tidak memedulikan tubuhnya yang meronta untuk dibiarkan beristirahat. Dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan Javin, karena apapun yang dilakukannya dengan Javin, dia tidak akan merasa lelah. “Tapi penampilan aku jelek begini. Apa aku ganti baju aja, ya?”

“Nggak usah, you’re still pretty for me, sweetheart. Lagian siapa juga yang mau liat, udah malem begini, kok.”

Herina memutar kedua matanya dengan malas. “Ngegombal tapi nggak niat.”

Akhirnya, mereka pun berangkat ke salah satu bukit di Kota Bandung yang memungkinkan mereka untuk melihat hamparan bintang yang menghiasi langit malam. Kedua insan yang sudah lama dipisahkan oleh jarak dan waktu, kini sedang menikmati kehadiran masing-masing yang telah dinantikan sejak lama. Tanpa persiapan apapun, tanpa rencana apapun, hanya mereka berdua dan hati yang saling berbicara. Obrolan-obrolan kecil mereka lontarkan, tetapi terasa sangat berharga. Mereka seperti kembali ke masa ketika mereka tidak harus memikirkan tentang kejamnya dunia. Masa ketika mereka hanya memikirkan kesenangan masa muda. Masa ketika hanya ada mereka berdua, tanpa terpisahkan oleh jarak dan waktu.

Javin dan Herina telah sampai di bukit yang mereka tuju setelah menghabiskan waktu 30 menit perjalanan. Angin malam yang bertiup di sana membelai wajah kedua insan manusia itu dan menerbangkan rambut panjang Herina. Udara di sini cukup dingin, untungnya Javin dan Herina sama-sama memakai baju yang cukup tebal agar dinginnya udara tidak menusuk hingga ke tulang mereka.

Pemandangan hamparan bintang yang luas tersaji dengan indahnya. Mata kedua insan itu benar-benar tidak berpaling dari salah satu mahakarya Tuhan itu. Namun, Javin terlebih dahulu menolehkan kepalanya untuk memperhatikan Herina yang masih berdecak kagum melihat bintang-bintang yang tersebar di langit, diam-diam mengagumi mahakarya Tuhan yang lain.

Merasa diperhatikan, Herina pun memindahkan atensinya yang semula tertuju pada bintang-bintang itu kepada laki-laki yang sudah memiliki hatinya sejak lama. “Lihat bintangnya, jangan lihat aku,” ujar Herina dengan pelan untuk menyembunyikan rasa malunya akibat ditatap dengan intens oleh Javin.

What do you mean? I’m looking at the stars right now, the stars that are so close to me, right in front of me. The most beautiful stars I’ve ever seen.

Jangan tanya seberapa bersemu wajah Herina sekarang. Javin selalu bisa meluluhlantakkan hati Herina dengan kata-kata manisnya. Debaran yang perempuan itu rasakan masih sama, pun kupu-kulu yang bertebaran di perutnya tetap tidak sirna. Javin dan segala kepiawaiannya untuk merangkai kata-kata. Herina harap, Javin tidak melihat wajahnya yang kini semerah keipiting rebus. Seharusnya tidak, karena ini tengah malam dan tempat mereka berdiri minim pencahayaan.

Javin hanya tersenyum tipis kala tidak mendapatkan respons dari Herina. Meski tidak bisa melihat rona merah yang muncul di wajahnya, Javin yakin pasti perempuan itu kini sedang salah tingkah. Kalau salah tingkah selalu saja mati kutu, batin Javin. Akan tetapi, tingkah seperti itulah yang membuat Javin merasa gemas dengan Herina. I will protect her at all cost.

[ Lay us down, we’re in love ]

Mereka kini memutuskan untuk merebahkan diri di atas rerumputan yang tumbuh di bukit itu. Tidak peduli jika baju yang mereka kenakan akan berubah menjadi kotor. Javin menawarkan lengannya sebagai bantal kepala Herina, tidak peduli jika nanti tangannya akan mati rasa, dan Herina tidak menolak. Kini, tidak ada jarak dan waktu lagi yang memisahkan mereka. Mereka sedekat nadi, dengan hati yang saling bertaut semakin kuat. Tak akan mereka biarkan sedikit pun tautan itu melemah.

“Herina,” panggil Javin

“Hmm?” Herina hanya menjawab dengan dengungan pelan.

Ada jeda setelah Herina menjawab panggilan dari Javin.

Whatever happens in the future, either it’s good or bad, I will always make sure to make you stay by my side. I know sometimes I’m being a jerk to let you cry or feel tired alone, but I will try my best to improve myself to the better. Because you are worth it, Her.”

Hey, all of the sudden?”

Herina bangkit dari posisi tidurnya, lalu mengambil posisi menyamping dan menumpu tubuhnya dengan tangan kanannya agar dia bisa melihat wajah Javin dengan jelas. Posisi Herina kini sedikit lebih tinggi daripada Javin yang masih tidur telentang di atas rerumputan. Tangan Javin yang bebas kini dengan leluasa mengelus pipi Herina yang sehalus sutra.

We’re just human, Vin. Sometimes we’re all being a jerk. Tapi kamu bisa ngakuin kesalahan kamu dan menebusnya, itu udah lebih dari cukup buat aku. Nggak cuma kamu, aku pun bakal selalu pastiin kalo kamu nggak pergi dari sisi aku, karena hubungan ini nggak cuma tentang satu orang aja, tapi tentang kita. Aku pun bakal selalu cari solusi untuk setiap masalah yang kita hadapi. Because you are worth it too, Vin. Kita sama-sama berjuang buat hubungan ini, ya?”

Javin mengangguk pelan. Mata Javin memancarkan keyakinan, keseriusan, dan ketulusan. Apapun tentang Herina, dia tidak akan pernah main-main. Javin bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan membiarkan Herina pergi dari hidupnya, kecuali jika maut yang memisahkan mereka. Herina adalah segala-galanya yang dia cari. Dia tidak butuh apa-apa lagi, hanya keberadaan Herina yang dia inginkan.

No matter how many years will pass, no matter how many things will change, but my love towards you will remain the same, Her. Dari dulu, sejak awal kita ketemu, enam tahun yang lalu.”

Me too, Vin. My love for you is everlasting.”

Javin bangkit dari posisi tidurnya, membuat Herina juga ikut bangkit. Mereka kini duduk saling berhadapan. Javin meraih tangan Herina dan menggenggamnya dengan sangat erat, seolah-olah Herina akan pergi dari sana. Entah mengapa, Javin melakukannya, tetapi dia benar-benar tidak ingin Herina berada jauh darinya. Dia tidak akan mengulangi kesalahannya.

“Aku berpikir untuk serius sama kamu, Her. Setelah lulus, aku mau memantaskan diri dulu di depan orang tua kamu. I will prove them that I can offer you everything, comfort, love, and material. Nggak, aku nggak akan melamar kamu sekarang. Tapi aku mau minta sama kamu buat nunggu aku, ya? Do you mind to wait for me, Her? Javin berkata dengan lugas, diikuti dengan pancaran keseriusan dari mata hitamnya yang terlihat seperti langit malam.

Herina sedikit terkejut dengan penuturan Javin barusan, tidak pernah menyangka bahwa hal seperti itu akan keluar dari mulut Javin. Namun, dia tidak bisa mengelak bahwa hatinya menghangat. Tanpa Javin harus membuktikan kepada orang tuanya pun, orang tua Herina pasti sudah merestuinya, karena mereka tahu seberapa keras Javin berusaha selama ini. Dan tanpa Javin minta pun, Herina akan selalu menunggunya hingga laki-laki itu siap.

“Aku juga bakal memantaskan diri, Vin. Nggak cuma kamu. Tunggu sampai aku siap menjalani semuanya. Do you mind to wait for me, Vin?”

“No matter how long it takes.”

“No matter how long it takes.”

– END –

Inspired by:

The End of All Things – Panic! At The Disco

26 Januari 2023

Her Guardian Angel

A cigarette slipped between her middle and index finger. She took a drag on it and exhaled the smoke. She could see the smoke billowing in the air, then it’s blown away by the night wind. That’s what she always did when her head felt like it’s hit by the sledgehammer; to get rid from her stress. Smoking can make her head feel a little lighter, even it’s just for a while.

“You know that smoking is not good for your health, don’t you?”

Then a voice interrupted her doing, a voice she had never heard before. Her eyes captured a lanky figure who placed his hands on his pant’ pockets. He wore a white polo t-shirt that stands out in the dark of the night. She doesn’t know about this guy; she doesn’t feel like she has ever met or talked with him.

“Who are you?” Instead of giving an answer to his statement, she asked in a curiosity.

He giggled. Her expression is so cute when she’s curious, it makes him fall deeper and deeper. And it will always be like that. “Hi, Marina, I’m James. I’m the guy who lives in the next door.”

She scrunched her eyebrows. If he’s her neighbor, why does she never see him in this place? And how can he know her name? “What? Are you new to this apartment? Because I never see you before.”

He shooked his head. “No. You never see me because you are always busy with your business and never really care about your surroundings.”

“Ah, that’s actually make sense.” She agreed. She never really cares about her surrounding indeed. And it’s not necessary, though. Living alone without caring about other people is still the best decision for her.

That James guy decided to sit next to her on the bench that is in the rooftop of this apartment. They are watching the moonlight in silence. She finally can observe this guy. The only thing from him that pays her attention is the red highlight on his hair. He’s just basically stunning, and the highlight on his hair, it makes him looks more charming, she said it on her mind.

“You know there’s another way to get rid from your stress rather than just smoking.” He started talking again.

“How?” She asked. Her cigarette is still burning, but she doesn’t want to put it out yet, not until she gets the explanation from this James guy.

“You have to kiss someone.” He answered her question. “Kissing someone has so many benefits for your health, specifically, it can reduce your stress.” He added.

“You are insane! It’s impossible for me to kiss someone when I feel so much stressed. I can’t possibly come to the bar and then kiss a random guy there.” She raised her tone because for her, the idea of kissing someone when you feel stressed is quite insane.

“Who said that you have to come to the bar to kiss someone?”

“Then HOW CAN I KISS SOMEONE if I don’t come to the bar?” She puts the emphasis on her words.

James turned his head towards Marina and gave her a deep stare, a sign of his seriousness. “You can kiss me.”

“What?” Marina startled because she didn’t think that answer would come from his mouth.

Not a word came out of James’ mouth. He’s still staring at the girl who he loves since the beginning underneath the moonlight. James’ stare felt like it was hypnotizing her, makes her heart beats beyond its normal tempo. When James’ head came closer and closer towards her, Marina didn’t pull to James’ side, waiting for his next move. James took that sign as a consent from her. Marina quietly extinguished her cigarette.

James tilted his head to the side and his lips started to press against hers, warmly and gently. Then his tongue slipped inside her mouth slowly as he cupped her cheeks and rubbed it; it feels so smooth. Her arms were wrapped around his neck. Marina’ eyes are closed, a sign that she was drunk of his kisses, while James’ eyes are still open, he wanted to get a better look of how high she is about his kiss, admired her like crazy. Marina swore that no one ever kiss her like this; until she got high. And the most unbelievable thing is, that she could feel the love James wanted to convey through his kiss.

James is right. Kissing can reduce stress and make her feel a lot better.

***

The kiss she had with James last night is still haunting her mind until the sun rises. Marina actually didn’t know what had gotten into her mind so she let a stranger kiss her. But, Marina really swore to God that James’s charm was hard to resist. Her cheeks turned red every time that scene come through her mind; it’s quite crazy that she felt something after that kiss. She wanted to know more about him, so this morning, she decided to cook a pasta and then asked James to eat it with her.

James said that he lives in the next door. So, Marina pressed the bell button of his apartment to tell James about her existence. But when the door opened, another figure of a man was seen there and it’s totally not James.

“Excuse me, is this place really where James lives?” She asked that person politely.

“Oh, that’s right. Who are you?”

“I’m Marina, I live in the next door. I want to meet James if I can.”

That boy looked confused about Marina’ words. What did she just say? “Uhm, I’m sorry? Don’t you know that James has been died a week ago due to a car accident? I’m George, his friend, I’m here to take care of his belongings.”

George’s words made her feel like she trucked by lightning. Her body was staggered and suddenly she felt like she forgot how to breathe because her chest is insanely tightened. It’s impossible. She and James just had an amazing kiss last night, and now she’s here to know the fact that James already died? But how come the kiss could felt so real?

“What? Is that true? It is impossible! I just had an amazing kiss with him last night.” She screamed due to disbelief. Then suddenly her tears streamed down her cheeks.

“What are you saying? Don’t be unserious. How can a died person kiss someone?” George asked Marina in disbelief. But then George comes to a realization that this woman is the one whom his best friend love so much. George stared at her in pity; he couldn’t do anything. Even his ghost still loves her so much and wants to protect her. He will always be her guardian angel. “It’s a fact, I don’t tell you a lie. I’m so sorry for you.”

Marina was languid and unknowingly she fell on the floor. The tears still stream down her face like a river. She took a deep breath, trying to ease her feeling from loss, but it’s so hard to do. It felt like her world is crumbling down. Even if she just met James once, she couldn’t deny it that James really gave her a big impact.

George remembers that James left a letter to him to give to Marina. George immediately went into James’s apartment room to get the letter. He crouched down and handed the letter to Marina. “James left a letter for you. Actually, he wanted to give this by himself, but when I’m in the hospital to take care of him, he wanted me to hand this to you in case he’s no longer in this world.”


A Letter for Marina

-THE END-

Disclaimer: since I’m not an English native speaker, I’m sorry if there are some grammatical errors. I’m still trying to improve my writing skill in English. Thank you for reading, I hope you enjoy this! Feel free to give me feedbacks through comment section!

17th of April 2023

W a y u p d

Dua Sosok dalam Satu Pilu

“Dulu Mama mengalami masa-masa sulit bersama saudara kembar Mama yang paling Mama sayangi. Kami sudah menelan banyak pil pahit yang ditawarkan oleh kehidupan. Oleh karena itu, kami tak pernah terpisahkan.” Mama tersenyum pilu sambil memandangi sebuah foto berisi dua remaja yang saling memamerkan senyum terbaik mereka di depan kamera.

Aku pikir, tidak seharusnya aku bertanya karena aku merasa bahwa mama menyimpan luka yang amat dalam mengenai saudara kembarnya itu. Mama tidak pernah sekalipun mengatakan padaku bahwa dia memiliki seorang saudara kembar. Maka dari itu, ketika melihat mama yang selalu memandangi foto itu dengan ekspresi wajah yang pilu, aku tidak bisa membendung rasa penasaranku. Jujur saja, aku cukup terkejut saat mengetahui bahwa mama memiliki saudara kembar. Mereka terlihat sangat mirip, dan tak terpisahkan. Aku bahkan tidak dapat membedakan mereka andai saja tidak ada sebuah tahi lalat di pipi kanan mama.

Dari sinilah cerita dimulai. Mama menceritakan tentang masa-masa kecilnya bersama saudara kembar yang sangat disayanginya. Mama cukup menyesal karena harus merantau untuk memperbaiki kehidupannya di kampung halaman. Mama bilang, saudara kembarnya telah terpisah jauh darinya, terbentang jarak yang sangat luas, mereka sudah tidak pernah bertatap muka setelah mama merantau. Untuk mencegah lukanya agar tidak semakin menganga, mama tidak pernah mengajakku barang sekali saja untuk pergi ke kampung halamannya.

***

Tetes-tetes air memutuskan untuk menjelajahi bumi pada sore hari ini. Langit terlihat sangat muram, semuram wajah mama yang kini sedang menyiapkan barang-barang yang akan digunakan untuk pergi liburan. Aku sangat mengerti bahwa mama tidak ingin membawaku ke kampung halamannya, karena sepertinya, tempat itu memiliki sejuta kenangan yang akan membawa mama pada realita yang menyakitkan. Aku sudah menolaknya mentah-mentah dengan mengatakan bahwa aku juga menikmati liburanku di sini, tetapi mama tetap kekeh pada pendiriannya.

Kenapa mama senang sekali menyiksa dirinya sendiri? Semenjak kepergian papa lima tahun yang lalu, mama semakin terlihat menanggung beban besar di pundaknya. Mama selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja, tetapi matanya tidak pernah berbohong. Ada segala macam perasaan yang tidak ingin kaulihat di sana, marah, kecewa, sedih, muram, dan perasaan lain yang menggambarkan ketidakbahagiaan. Sudah berapa banyak kehilangan yang mama alami?

“Maya, bajumu sudah dimasukkan semua, kan? Biar nanti malam kita tinggal berangkat,” seloroh mama sambil melipat bajunya dengan gesit.

Aku hanya mengangguk. “Mama nggak apa-apa menyetir malam-malam begini?” tanyaku dengan sedikit khawatir. Mama sedikit kurang tidur akhir-akhir ini karena urusan pekerjaan dan urusan lain yang tidak aku mengerti. “Kita bisa berangkat besok pagi saja. Mama terlihat sangat lelah.”

“Tidak. Mama tidak ingin menunda keberangkatan. Lagi pula, Mama masih cukup kuat untuk terjaga semalaman, sudah biasa. Keputusan sudah bulat.”

Aku menghela napas pasrah melihat kekeraskepalaan mama. Aku harap apa yang dikatakan mama benar adanya bahwa dia kuat untuk menyetir semalaman. Ada perasaan aneh yang menyelinap bahwa liburan kali ini akan menjadi liburan yang sedikit tidak biasa, dan ini bersangkutan dengan mama. Aku harap bukan hal-hal aneh yang terjadi.

Saat ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku dan mama sudah selesai melaksanakan makan malam, dan semua koper serta barang-barang sudah dimasukkan ke bagasi mobil. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa mama ingin berangkat jam sembilan malam. Namun aku sama sekali tidak melihat guratan letih di wajah mama. Sebaliknya, dia begitu semangat ketika tahu bahwa kita akan segera pergi ke kampung halamannya.

Terjadi percakapan kecil di dalam mobil. Mama menanyakan apakah aku mengalami kesulitan dalam akademik maupun kehidupan kuliahku. Setelah bertanya, mama memberiku seluruh wejangan yang sudah kudengar hampir puluhan kali hingga telingaku merasa bosan. Akan tetapi, aku mendengarkan mama dengan patuh dan tidak menginterupsi wejangan mama, karena aku tahu itulah cara mama menunjukkan rasa sayangnya padaku.

Setelah memberi wejangan-wejangan itu, kami semua diam dalam perjalanan. Mama tidak pernah sekalipun menceritakan suatu hal tentang dirinya, padahal aku sangat ingin mendengarnya. Jangankan suatu hal tentang mama, hari-hari mama di kantor pun aku tak pernah tahu bagaimana detailnya. Yang aku tahu tentang mama hanyalah tanggal lahirnya, tanggal pernikahannya dengan papa, dan cerita-cerita tentang detik-detik sebelum mama melahirkanku. Dan baru-baru ini, aku baru mengetahui bahwa mama memiliki saudara kembar yang tidak aku ketahui keberadaannya. Selebihnya, aku tidak tahu apapun tentang ibu kandungku sendiri.

Lagu lawas yang dinyanyikan oleh Sherina Munaf mulai memasuki pendengaranku. Ternyata mama menyambungkan radio dengan ponselnya melalui perangkat bluetooth. Mama mulai mendendangkan lagu itu dan sangat menghayatinya. Aku yang tidak terlalu hafal dengan lagunya, memilih untuk diam dan menikmati suara mama yang menurutku cukup merdu. Perasaanku mengatakan kalau ini adalah lagu favorit mama dan saudara kembarnya.

“Maya, kalau kamu ngantuk, tidur aja. Mama nggak apa-apa kok nyetir sendirian.”

Aku diam dan tidak menggubris perkataan mama karena aku memang merasa sangat mengantuk, tetapi aku tidak tega meninggalkan mama menyetir sendirian. Lalu, beberapa menit kemudian, aku menyerah dengan rasa kantukku dan memilih untuk memejamkan mata.

Beberapa jam kemudian, aku mulai terbangun dari tidurku. Sepertinya kami sudah sampai di tempat yang akan kami tempati selama liburan berlangsung. Mobil mama terparkir di sebuah halaman rumah yang sangat sederhana. Rumah itu bercat putih dan terlihat sangat tua, dan sepertinya sudah lama tidak ditinggali. Meski rumah itu terlihat tua, pekarangan rumah sangat terjaga dengan baik. Terdapat beberapa bunga anggrek di sisi kanan dan kiri pekarangan, pohon-pohon rindang yang menghiasi rumah itu, dan berbagai macam tanaman hias yang tidak aku ketahui namanya.

Aku cukup takjub dengan bagian depan rumah ini, terlihat sangat asri dan memanjakan mata. Aku menoleh ke samping kanan untuk melihat apakah reaksi mama sama dengan reaksiku. Namun, ekspresi yang aku dapatkan bukanlah apa yang aku harapkan, mama menatap rumah di hadapanku dengan pandangan kosong. Apa yang terjadi dengan mama?

“Mama, kita sudah sampai. Kenapa Mama bengong? Apa Mama baik-baik saja?” tanyaku berhati-hati sambil menepuk pundak mama. Mama sedikit terkejut dengan perlakukanku, lalu menunjukkan senyumnya yang sangat terlihat palsu. “Mama nggak apa-apa, ayo masuk. Ini sudah jam lima pagi, kamu harus lanjut istirahat supaya tidak lelah.”

Setelah mengatakan hal itu, mama segera keluar dari mobil untuk menurunkan barang-barang yang kami bawa. Tanpa basa-basi, aku ikut ke luar dari mobil dan membantu mama menurunkan barang-barang yang kami bawa. 

Saat aku berjalan memasuki rumah, aku merasakan ada sosok yang telah menempati rumah ini selama bertahun-tahun. Siapapun itu, aku rasa dia sangat menyambut kedatangan kami. Entahlah, hawa di rumah ini membuatku merasa bingung. Aku tidak tahu apakah mama merasakan hal yang sama padaku, atau ini hanyalah halusinasiku saja. Aku kembali meneliti ekspresi mama, tetapi tidak ada raut wajah apapun yang ditunjukkan mama. Datar-datar saja.

Kami mulai membereskan barang-barang kami di kamar masing-masing. Ada dua kamar yang tersedia di dalam rumah ini yang letaknya saling berhadapan. Kamar yang aku tempati tidak terlalu luas, tetapi tetap menawarkan rasa nyaman yang menjanjikan. Kasur yang ada di dalam kamar ini terlihat muat untuk satu sampai dua orang. Aku benar-benar tidak sabar untuk melanjutkan tidurku!

Namun, sebelum itu, aku harus menuntaskan panggilan alam yang sejak tadi aku tahan. Aku keluar kamar dan bertanya pada mama di mana letak kamar mandi di rumah ini. Mama memberitahuku untuk berjalan sampai ke belakang rumah, dan kamar mandi terletak di sebelah kanan gudang. Aku menemukannya dan segera menuntaskan panggilan alamku. Ketika aku sedang mencuci tanganku, terdengar suara benda jatuh di sebelah gudang. Apakah mama di sana?

Setelah memastikan tanganku benar-benar bersih, aku memutuskan untuk menyusul mama dan membantu apapun yang akan mama suruh. Ketika aku membuka pintu gudang, keadaannya sangat-sangat gelap sampai aku tidak bisa melihat apapun. Debu-debu beterbangan sehingga sampai aku mengalami bersin-bersin yang tak berkesudahan. Aku mencari saklar lampu untuk melihat apa-apa saja yang ada di dalam gudang, tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Semua barang terlihat bertumpuk rapi, tidak ada yang menunjukkan bahwa barang itu jatuh sebelumnya. Namun, tidak mungkin pendengaranku salah, aku benar-benar yakin bahwa suara benda jatuh itu berasal dari gudang!

Rasa penasaranku telah merebak sehingga aku memutuskan untuk memasuki gudang itu. Aku mengecek benda-benda yang terletak di sana yang mengindikasikan bahwa benda itu baru saja terjatuh. Setelah sepuluh menit berkeliling, aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Mungkin ini memang benar halusinasiku saja karena kekurangan tidur. Aku segera kembali ke kamar dan memutuskan untuk melanjutkan tidurku.

Beberapa hari telah berlalu semenjak aku mendengar suara barang yang terjatuh dari gudang. Ternyata itu bukan halusinasiku saja. Setiap aku keluar dari kamar mandi, pasti aku mendengar suara yang tidak tahu dari mana datangnya itu. Ketika aku memeriksanya, aku tidak menemukan apapun di dalam gudang, hasilnya nihil. Aku belum mengatakan apapun pada mama karena mama pasti tidak percaya dengan hal seperti itu.

Kali ini, aku kembali mendengar suara barang terjatuh dari kamar mandi. Meskipun aku tahu bahwa aku tidak akan mendapatkan hasil apapun, kakiku tergerak untuk melangkah menuju gudang. Mama sudah membersihkannya beberapa hari yang lalu sehingga sekarang aku tidak perlu bertemu dengan debu-debu yang menyakiti hidungku.

Aku mendesah kecewa saat lagi-lagi aku tidak menemukan apapun di dalam gudang. Hanya kardus-kardus yang bertumpuk di atas rak dan lantai. Namun, entah kenapa otakku menyuruhku melangkah mengelilingi gudang walaupun aku tahu aku tidak akan mendapat apapun. Saat sudah tidak ada lagi yang bisa aku lihat, aku berbalik dan berteriak saat sesosok perempuan berdiri di depanku. Matanya yang bolong dan memerah menatapku dengan sangat nyalang, lalu dia tersenyum lebar, sampai ke telinganya. Senyum itu sangat-sangat mengerikan sampai membuat jantungku hampir keluar dari tempatnya. Mulutku terasa terkunci karena kehadiran sosok itu. Air mata hampir saja keluar dari mataku jika saja aku tidak ingat untuk menahannya. Wajahnya yang penuh luka basah membuat badanku bergetar hebat. Aku memejamkan mataku, berharap agar sosok mengerikan itu segera pergi dari hadapanku.

“Datanglah besok ke tempat ini tepat jam dua belas malam. Ada hal yang ingin kuceritakan padamu,” katanya dengan suara yang agak melengking. Telingaku bahkan sampai berdenging mendengarnya.

Aku masih tetap memejamkan kedua mataku sampai aku menyadari bahwa tidak ada pergerakan yang berarti dari sosok itu. Akhirnya, aku membuka mata, lalu menghela napas sekencang-kencangnya. Badanku sangat lemas hanya karena berhadapan dengan sosok mengerikan itu. Kenapa sosok itu tidak menyakitiku? Kenapa dia malah menyuruhku datang saat jam dua belas malam? Apa yang kira-kira ingin dia sampaikan?

Keesokan harinya, aku menepati janji untuk datang saat pukul dua belas malam seperti yang dikatakan oleh sosok itu. Hawanya sangat berbeda, begitu dingin dan mencekam, seolah sosok itu bisa datang kapan saja untuk membuatku mengalami serangan jantung. Bulu kudukku meremang, keringat dingin mengucur dengan deras, tetapi aku tidak akan mundur karena aku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya.

Aku masuk ke gudang dan tidak menemukan sosok itu di sana. Kenapa malah dia yang tidak menepati janji?

Ketika aku membalikkan badanku, sosok itu terlihat sedang menyeringai lebar ke arahku. Aku terkejut dan menahan napasku, menahan diri untuk tidak berteriak. Kenapa dia bisa seseram itu? Apakah semua hantu memang gemar sekali mengagetkan manusia dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba?

“Duduk si sana,” perintahnya sambil menunjuk sebuah kursi yang berada di sebelah kiri pintu gudang. Tanpa basa-basi, aku langsung menurut untuk duduk di sana.

Sosok itu kemudian memejamkan matanya, hingga tiba-tiba sebuah buku melayang dari satu kardus yang berada di gudang. Aku melihatnya dengan rasa takjub sekaligus ngeri. Jadi, sosok itu bisa mengendalikan sebuah buku dengan pikirannya?

Buku itu terus melayang hingga berada di atas pangkuanku. Dia membuka matanya, kemudian menunjuk buku itu dengan tangannya. Sepertinya dia sedang menyuruhku untuk membuka buku yang bentuknya mirip buku harian. Saat tanganku menyentuh halaman pertama, tubuhku seperti terseret dalam ruang waktu, dan sampailah aku ke tempat yang sepertinya familier, tetapi aku tidak dapat mengingatnya.

Terlihat dua orang remaja perempuan yang sedang merawat seorang wanita paruh baya yang sedang sakit. Wajah mereka terlihat tidak begitu jelas. Mereka menangis dalam diam, seperti menanggung beban besar di pundak mereka. Mereka dengan telaten menyuapi wanita itu, mengompres kepalanya sambil memandikan badannya. Hatiku cukup terenyuh. Apakah aku akan merawat mama seperti itu ketika ia sudah renta nanti?

Tiba-tiba, latar tempat berganti menjadi sekolahan. Tunggu, tahun berapa ini? Kenapa semuanya masih serba jadul? Bangunannya tidak semodern bangunan saat ini. Ketika aku masih bertahan dengan kebingunganku, tiba-tiba, dua orang remaja perempuan tadi datang ke sebuah kelas dan duduk di tempat paling belakang. Tidak ada yang menghiraukan kedatangan mereka, tidak ada yang mengajak mereka mengobrol. Dua remaja itu merupakan contoh murid yang tidak populer di sekolahnya. “Mereka tidak memiliki teman karena mereka tidak memiliki apapun untuk dipamerkan,” kata sebuah suara. Kemudian, mereka dipanggil ke ruang kepala sekolah karena telah menunggak uang sekolah selama satu tahun.

Latar tempat berganti kembali menjadi sebuah rumah sakit. Seorang wanita paruh baya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dua orang remaja perempuan itu sedang menunggu di kamar rawat wanita itu. Wajah mereka terlihat mendung, muram, tak bersemangat. “Mereka berpikir bagaimana caranya untuk membayar tunggakan sekolah sekaligus biaya rumah sakit. Biaya-biaya itu mencekik leher mereka seolah tidak menginginkan mereka hidup.”

Kedua remaja perempuan itu memutuskan untuk bekerja keras agar mereka dapat bertahan hidup. Mereka berjualan makanan, menjadi penjaga kafe, membuatkan tugas orang lain, membuka jasa mengetik, menjadi supir, mengangkat kebutuhan sembako yang akan dikirimkan, hampir semua pekerjaan mereka lakukan agar setidaknya mereka dapat membayar biaya rumah sakit dan sekolah. Latar tempat terus berganti-ganti seiring cerita berjalan. “Kami tidak tahu apa itu menikmati masa muda.”

Akhirnya, kedua remaja perempuan itu lulus dari sekolah. Mereka sempat adu mulut karena salah satu dari mereka ingin melanjutkan pendidikan ke universitas yang berada di kota besar. Mereka berdebat tentang siapa yang akan menjaga ibu ketika salah satu dari mereka bekerja. Mereka berdebat tentang biaya kuliah jika salah satu dari mereka melanjutkan pendidikan ke kota besar. Mereka berdebat tentang tidak akan ada satupun yang akan membantu mereka ketika mereka mengalami musibah. Masing-masing remaja perempuan itu memiliki pendapat mereka sendiri, yang berujung mereka tak saling berbicara satu sama lain.

Perang dingin berlangsung selama satu minggu dengan keputusan bahwa salah satu dari mereka akan tetap pergi. Meski terasa berat untuk berpisah, akhirnya salah satu dari mereka mengiyakan dan mengikhlaskan.

Kehidupan mereka menjadi jauh lebih baik karena salah satu dari mereka pergi merantau. Mereka hidup dengan uang hasil bekerja, dan tak perlu pusing-pusing memikirkan biaya kuliah karena mereka mendapat beasiswa penuh dari pemerintah. Mereka saling menguatkan, saling menjaga, saling mendoakan satu sama lain meskipun terbentang jarak yang amat jauh. Biaya rumah sakit tak lagi menjadi batu sandungan yang besar bagi mereka.

“Kebahagiaan itu tak berselang lama.”

Tiba-tiba, keadaan wanita setengah baya itu memburuk. Salah satu remaja perempuan itu menelepon saudaranya yang jauh di sana untuk mengabarkan keadaan wanita itu. Ia meminta saudaranya untuk pulang dan mengurus ibu untuk sejenak. Namun, karena kesibukan kuliah kuliah dan bekerja, saudaranya itu tidak dapat pulang dan mengurus ibu mereka barang sejenak. 

Beberapa bulan kemudian … hidup wanita setengah baya itu tidak dapat tertolong lagi. Tuhan rupanya lebih menyayangi ibu mereka, dan menginginkan ibu mereka untuk pulang secepatnya. Tentu saja, salah satu anak perempuannya terpukul, stress, dan tidak bisa menerima kenyataan. Maka dari itu, ia menelepon saudaranya yang merantau, memberitahu bahwa ibu mereka sudah tidak berada di dunia yang sama lagi dengan mereka. Saudaranya itu berkata bahwa dia akan pulang, dan mereka akan mengurus jasad ibu bersama-sama.

Ketika remaja itu ingin menjemput saudaranya di bandara… dia tidak fokus saat menyebrang untuk mencari kendaraan umum karena terlalu memikirkan kepergian ibunya. Akhirnya, sebuah mobil yang melaju cepat menghantam tubuhnya dengan keras hingga tubuh itu terpental jauh serta mengeluarkan darah. Dia dinyatakan meninggal di tempat karena tubuh yang sudah hancur lebur.

Tubuhku kembali terseret ke gudang setelah cerita itu ditutup oleh kecelakaan yang mengenaskan. Tiba-tiba saja aku menangis, seolah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh kedua remaja perempuan itu. Musibah selalu datang bak air bah dalam kehidupan mereka yang menuntut mereka untuk terus berjuang dan berjuang. Ketika kehilangan orang kesayangan berada di depan mata, mereka tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk berjuang.

Mataku terarah pada sosok di depanku. Ia menatapku dengan kedua matanya yang menyeramkan. Aku rasa itu adalah ceritanya dengan saudara perempuannya. Aku bisa merasakan bahwa sosok itu sedang menahan rasa sedihnya. Aura yang dipancarkan oleh sosok itu… aku bisa merasakannya.

Akan tetapi… tunggu dulu… kenapa aku baru sadar bahwa cerita ini sangat mirip dengan apa yang mama ceritakan padaku tempo hari?!

-TAMAT-

Cerita pendek ini pernah dipublikasikan di LINE TODAY dengan judul Dua Sosok dalam Kenangan Pilu dalam event lomba menulis yang bertema Girl Empowerment. Sehubungan dengan tidak aktifnya platform tersebut, maka versi orisinal dari cerita ini dipublikasikan di blog pribadiku.

Di Bawah Rintik Hujan

Part 2

Akhir-akhir ini aku merasa bahwa langit lebih muram dari biasanya, sama seperti suasana hatiku yang selalu diselimuti oleh sendu akibat kesalahanku yang membuat hubunganku dengannya berakhir. Hatiku masih sangat merindukan keberadaannya, merindukan tawanya, merindukan senyumnya. Sudah dua bulan lebih berlalu, keberadaannya masih menjadi satu-satunya hal yang aku harapkan ketika aku sedang lelah menghadapi dunia. Akan tetapi, aku sadar bahwa luka yang aku tancapkan di hatinya sudah sangat dalam. Aku tidak akan bisa mengobatinya begitu saja hanya dengan kata-kata.

Aku hanya duduk dan bergeming di kantin kampus sambil melihat suasana taman yang sangat lengang hari ini. Mungkin karena langit sedang mendung, orang-orang jadi tidak ingin menghabiskan waktu mereka di taman. Aku sudah berada di sini selama beberapa jam untuk merenungi betapa bodohnya aku karena sudah menyia-nyiakan seseorang yang sudah sangat menghargaiku dan memberi pengertian padaku. Aku ingin memperbaiki semuanya, tetapi rasanya sudah sangat terlambat. Lagi pula, aku juga tidak bisa memilih antara dia atau mimpiku yang sudah aku tekuni dari dulu.

Tanpa sadar, teman-teman satu timku menghampiriku yang tengah duduk sendirian. Kami tergabung dalam tim bulutangkis kampus. Mereka menepuk-nepuk pundakku dengan pelan, seakan mengerti apa yang tengah aku rasakan.

“Lo beneran udah berakhir sama Lena? Padahal kalian berdua bener-bener kelihatan banget saling dukung. Apalagi Lena, dia emang sepengertian itu orangnya, baik, gak gampang curiga juga.”

Ah, nama itu. Setiap mendengar nama itu, rasa rindu selalu menyeruak dalam hatiku, tetapi juga diiringi oleh perasaan menyesal. Omongan temanku barusan benar-benar menabur garam pada luka di hatiku yang membuatnya semakin perih.

“Arga, gue sama dia emang udah gak bisa sama-sama. We are not meant to be. Meskipun gue masih sayang sama dia, gue juga gak bisa milih antara dia sama mimpi gue. Keduanya sama-sama berarti,” ujarku sambil menghela napas.

Temanku yang lain menggelengkan kepalanya. Dia berdecak sebal. “Heh, malih, asal lo tau ya, Lena itu udah pengertian banget sama lo, dia gak pernah protes kalo nungguin lo di lapangan, dia gak pernah marah sama lo kalo tiba-tiba lo dipanggil sama pelatih buat latihan, dia juga mungkin kecewa karena lo suka batalin janji karena itu, tapi dia gak pernah marah sama lo. Lena gak pernah egois dan biarin lo ngejar mimpi lo buat jadi pebulutangkis ternama. Kenapa lo harus milih di antara keduanya kalo mereka bisa jalan beriringan. Lo aja yang terlalu ambisius buat latihan, ga pernah mau ambil waktu istirahat, yang ada di pikiran lo cuma buat jadi yang terbaik, yang terbaik, yang terbaik, sampe lupa kalo lo punya Lena. Bahkan mantan-mantan lo sebelumnya gak ada yang sesabar Lena. Sebenarnya, apa yang pengen lo kejar?”

Aku termenung ketika mendengar nasihat dari salah satu temanku itu. Dia memang memiliki perangai yang blak-blakan, sehingga kata-katanya sering menancap tepat sasaran di ulu hati. Namun, semua yang dia katakan adalah kebenaran untuk menampar orang-orang bodoh seperti aku.

“Bener tuh kata si Leo. Sebenarnya apa yang pengen lo kejar? Yang ada lo jadi nyiksa diri sendiri. Lo capek iya, kehilangan Lena iya. Gak kasian apa lo sama diri sendiri?” kata Sanjaya.

Lagi-lagi perkataan Sanjaya membuatku termenung. Sebenarnya apa yang aku kejar? Apakah aku memang ingin jadi pebulutangkis ternama, atau hanya ingin mendapat validasi dari orang tuaku bahwa pebulutangkis juga bisa menjadi sukses?

Arga menepuk bahuku lagi selama beberapa kali. “Daripada lo nyesel, mending perbaiki semuanya sekarang, deh. Si Lena juga kayanya murung terus akhir-akhir ini. Dia kan sayang banget sama lo. Gue udah temenan deket sama dia dari SMP, and I can tell that you are the only person who can make her very happy.”

Kata-kata Arga benar-benar menyentuh hatiku.

What if—


Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Leo menoyor kepalaku. “Nggak usah kebanyakan what if! Tuh orangnya lagi kesusahan bawa berkas-berkas penting. Lo samperin sono, jangan sampe gue gebuk ya lo. Jadi cowok jangan pasrah! Lo aja bisa ambis latihan, masa buat balikan sama Lena lagi kagak ambis. Payah lo.”

Aku meringis karena mendengar ucapan menohok dari Leo. Aku memperhatikan Lena yang sedang kesusahan berjalan karena membawa setumpuk berkas yang menghalangi pandangannya. Meski ragu, aku tetap bangkit dari dudukku dan menghampiri Lena.

Do you need help?”

Meski Lena tidak melihatku, aku tahu persis kalau dia menyadari keberadaanku hanya dengan mendengar suaraku.

Yes, please?” pinta Lena dengan nada memohon.

Aku dengan sigap mengambil setengah dari dokumen yang dibawa Lena dan membawanya di tanganku. Kini, aku bisa melihat wajah Lena sepenuhnya. Wajah yang sangat aku rindukan. Lena terlihat cukup lelah hari ini, terlihat dari matanya yang sayu dan bahunya yang terkulai. Apa yang terjadi dengannya?

Setelah aku membantunya membawa beekas-berkas penting ke ruang dosen, suasana di antara kami menjadi canggung. Lalu, sekarang apa yang harus aku lakukan?

Are you free tonight, Len?” tanyaku secara tiba-tiba. Aku bahkan terkejut pada diriku sendiri karena menanyakan hal itu kepada Lena.

Lena melirikku terkejut, lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “No, I’m not. I have to meet someone.”

“Siapa, Len?”

Baru saja Lena akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaanku, seorang laki-laki berjalan ke arah kami sambil memanggil nama Lena. Dia berdiri tepat di depan kami, tetapi perhatiannya hanya fokus kepada Lena.

“Malam ini jadi, kan? Di taman yang deket sama indekos lo?”

Lena menampilkan senyumnya sambil menganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan laki-laki itu. Setelah mendapatkan jawaban, laki-laki itu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun padaku karena aku pun tidak mengenalnya. Sekarang, aku benar-benar dibuat penasaran tentang laki-laki itu. Apakah kini posisiku sudah benar-benar tergantikan di hati Lena?

“Dia yang bakal kamu temuin di taman nanti?” tanyaku memastikan.

None of your business, Jehan. We’re over since two months ago. I still appreciate you as my friend, but I think you don’t have to know my personal things anymore,” tegas Lena.

Kata-kata yang dilontarkan oleh perempuan yang sepenuhnya masih menguasai hatiku, membuatku sedikit tersentil. Apakah itu artinya aku tidak memiliki kesempatan lagi? “So, does it mean I don’t have chance to mend everything between us?” tanyaku putus asa. Aku benar-benar kalah bahkan sebelum mulai berperang.

Lena menghela napas. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung melenggang pergi begitu saja. Apakah aku sudah menorehkan luka yang tidak bisa dia maafkan? Apakah aku harus benar-benar melupakan Lena dan menyingkirkannya dalam hatiku?

Setelah kejadian Lena yang tidak mengindahkan pertanyaanku, aku bercerita kepada teman-temanku bahwa sepertinya aku tidak lagi memiliki kesempatan untuk merebut hati Lena. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa prihatin kepadaku, tetapi mereka juga mengatakan bahwa inilah konsekuensi yang harus aku terima akibat perbuatanku dulu. Aku benar-benar menjadi orang paling menyedihkan saat ini. Aku benci dikasihani, tetapi aku memang pantas mendapatkannya.

Aku memutuskan untuk tidak latihan selama beberapa hari karena aku masih ingin berlarut dalam keputusasaanku. Untungnya, pelatihku mengerti dan membiarkanku untuk tidak mengikuti latihan. Toh, aku sudah bekerja keras selama beberapa bulan terakhir dan pelatihku sangat puas melihat perkembanganku.

Kakiku berjalan tak tentu arah di taman yang menjadi saksi bisu berakhirnya hubunganku dengan Lena. Entah kenapa, hati dan pikiranku membawaku ke tempat ini meskipun langit sepertinya tidak berpihak kepadaku. Awan-awan gelap masih menggantung sedari tadi pagi. Apakah langit sedang berduka bersamaku atau malah mengejekku?

Atau mungkin sebenarnya aku pergi ke tempat ini karena Lena mengatakan bahwa dia akan bertemu laki-laki yang mengobrol dengannya tadi? Bisa jadi. Aku juga berharap bahwa aku akan bertemu perempuan yang namanya masih terukir jelas di hatiku, tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Saat ini sudah pukul 11 malam, Lena tidak mungkin berada di luar indekosnya selarut ini.

Karena kakiku merasa cukup lelah, aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman. Bangku taman yang menjadi tempat perpisahanku dengan Lena. Entah kenapa, berada di tempat ini membuatku ingin menyiksa diriku sendiri.

Tak lama setelah aku duduk di kursi taman, aku melihat dua orang yang sedang berbincang di sebelah pohon besar yang ada di taman ini. Walaupun jarakku dengan kedua orang itu cukup jauh dan penerangan tergolong minim, aku masih tetap bisa mengenali postur tubuh Lena. Apa yang dia lakukan larut malam begini? Apakah mereka memang memiliki janji di saat seperti ini?

Aku benar-benar tidak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan, tetapi aku bisa melihat senyum Lena yang luntur, berganti dengan wajah kecewanya. Lawan bicara Lena pun melihat Lena dengan rasa bersalahnya. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?

Laki-laki itu memeluk badan rapuh Lena, lalu mengusap kepala Lena secara perlahan. Bukannya menjadi tenang, Lena justru semakin bergetar karena tangisnya yang hebat. Bersamaan dengan perginya laki-laki itu, hujan turun dengan hebatnya. Lena menutup mulutnya, seakan dia ingin menyembunyikan isakannya itu, padahal tidak akan ada orang yang mendengarnya. Lena jatuh terduduk di bawah pohon besar yang tetap tidak mampu melindunginya dari hujan yang sangat lebat ini.

Melihat Lena seperti itu menbuat hatiku benar-benar hancur. Air mataku ikut menetes. Sebenarnya hal berat apa yang harus dilalui oleh sosok rapuh seperti Lena? Kami menangis bersamaan di bawah rintik hujan yang akan meleburkan air mata kami.

Aku bangkit dari dudukku dan berlari menghampiri Lena yang sudah bersimpuh dengan lemah di bawah pohon. Tanpa ragu, aku membawanya ke dalam pelukanku dan menbiarkannya untuk menumpahkan segala beban yang dia punya.

Why does everyone leave me eventually? Do I really deserve to be happy? Apakah aku memang ditakdirkan untuk selalu sendirian di dunia ini? Is there someone who loves me genuinely to the point they won’t leave me alone? Kenapa dunia ini terlalu tidak adil?” Lena meraung dengat hebat sambil memukul-mukul dadaku dengan kencang. Aku tidak pernah melihat keadaan Lena yang sehancur ini. Aku merupakan salah satu alasan di balik kehancuran Lena. Aku menangis, hatiku menangis melihat betapa rapuhnya perempuan itu saat ini.

Tanganku mengusap rambut Lena yang sudah benar-benar dibasahi oleh air hujan. “No, Lena. You really deserve to be happy. Orang-orang yang ninggalin kamu benar-benar tidak bisa melihat seberapa berharganya diri kamu, termasuk aku. Mereka bodoh banget karena nyia-nyiain keberadaan kamu. I love you, Lena, I really do. I love you genuinely. Tapi aku malah terbutakan sama kebodohan aku. I will never leave you, Lena. I’m always here.”

Setelah mendengar kata-kataku, Lena menjadi sedikit tenang meskipun dia masih sesenggukan akibat tangisnya. Aku semakin memeluknya dengan erat untuk menyalurkan kekuatanku padanya.

I’m tired, Jehan,” kata Lena dengan suara parau.

“Iya, aku ngerti. Abis ini istirahat, ya?”

Lena hanya mengangguk lemah.

So, is there any chance for me to mend everything between us?” Aku berkata dengan cukup pelan, takut membuat Lena merasa tidak nyaman, tetapi ternyata Lena bisa mendengarnya di antara suara hujan deras yang turun dan suara petir yang menggelegar. Di bawah rintik hujan ini, aku berharap bahwa aku bisa memperbaiki semua yang telah terjadi di antara aku dan Lena.

I’m sorry, Jehan. It’s not that easy for me. But I guess I will try. Can you wait a little longer?”

Even if it takes forever, I will always wait if it’s about you, Len.

-TAMAT-

PART 1

Inspired by Alone in This World

Young K ft. Song Heejin

Di Bawah Rintik Hujan

Part 1

Mataku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku selama beberapa kali. Sudah satu jam lebih aku menunggu keberadaan seseorang, tetapi orang itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku sampai harus memesan minum hingga dua kali karena aku tidak melakukan kegiatan apapun di kafe ini. Aku juga sudah berusaha menghubungi orang yang akan aku temui hari ini, tetapi dia tidak juga mengangkatnya. Selalu saja seperti ini.

Aku bangkit dari dudukku sembari menghela napas pelan, kemudian berjalan keluar kafe. Dia tidak akan datang seperti yang dia katakan kemarin dan aku sudah lelah menunggunya. Dia sama sekali tidak menghargai waktu yang sudah aku luangkan untuknya, padahal aku juga memiliki kesibukanku sendiri. Sangat egois.

Setelah aku sampai di kamar indekosku, aku memijat pelipisku yang sedikit berdenyut. Sudah sejak pagi aku merasakan pening di kepalaku akibat memikirkan banyak hal. Tak lupa aku meminum obatku untuk meredakan rasa sakit di kepalaku. Hari ini benar-benar melelahkan. Aku harus mengurus tugas kuliahku, harus berhubungan dengan banyak petinggi kampus, ditambah lagi aku memikirkan dia yang hilang entah ke mana. Raga dan batinku benar-benar dipertaruhkan.

Aku memutuskan untuk tidur sejenak. Hal itu juga aku lakukan untuk melupakan masalah yang datang kepadaku bertubi-tubi. Baru saja aku memejamkan mata selama beberapa detik, tiba-tiba dering ponselku terdengar. Nama orang yang sedari tadi aku tunggu di kafe tertera sebagai pemanggil.

Hello, sweetheart, are you still at the cafe?” Suaranya masuk ke pendengaranku.

It’s already 5 PM,” jawabku dengan nada sarkas. Bisa-bisanya dia masih bertanya apakah aku masih berada di sana, sedangkan sekarang saja sudah lewat 2 jam dari perjanjian awal.

I’m so sorry. I couldn’t go because my coach and my friends needed me there. Let’s meet in another chance.”

Dari kata-kata dan nada suaranya, aku tahu kalau dia merasa bersalah. Namun, dia sudah melakukan hal ini berulang kali dan itu sangat membuatku muak. He’s my lover, he’s my boyfriend, but he never spends his time with me, he never be there for me when I need him the most.

“Han, aku capek. Aku mau tidur.” Aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Selain karena aku muak mendengar bualannya, aku juga benar-benar tidak bisa menahan rasa lelahku.

Terdengar helaan napas dari Jehan di seberang sana. “Alright, sleep tight. Nanti aku mampir ke kos kamu.”

Aku langsung mematikan teleponnya, tidak ingin mendengar apapun yang terucap dari mulutnya. Dia tidak akan datang, aku percaya itu, karena dia lebih mementingkan kegiatan berlatih bulu tangkisnya, bersama pelatih dan teman-temannya.

Akhirnya, aku tertidur dengan sangat lelap akibat dari obat sakit kepala yang aku minum. Aku tertidur selama 4 jam tanpa terganggu oleh apapun. Ketika aku membuka mataku secara perlahan, aku melihat keberadaan Jehan yang duduk di lantai sambil memandangku. Dia tersenyum lembut ketika melihatku yang baru bangun dari tidurku.

Why are you here, Jehan? Dikasih masuk kamu sama ibu kos aku?” tanyaku heran. Biasanya ibu penjaga indekosku sangat melarang orang lain selain penghuni kos untuk masuk. Jehan juga tidak pernah masuk ke indekosku sebelumnya. Dia sangat nekat. Aku juga cukup terkejut karena Jehan menepati janjinya untuk datang, biasanya dia akan selalu mengingkari janji hingga aku tidak peduli lagi dengan apa yang dia katakan.

Jehan tersenyum lebar ketika melihatku keheranan. “I got my way, kamu gak perlu tahu.”

Akhirnya laki-laki itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju nakas yang berada di sebelah tempat tidurku. Di atasnya terdapat kantong plastik putih berisi dua sterofoam. Aku tebak dia membeli makanan terlebih dahulu sebelum pergi ke indekosku.

“Kwetiaw seafood kesukaan kamu.”

Jehan memberikan salah satu sterofoam kepadaku. Ketika aku membukanya, wangi kwetiaw menyeruak ke indra penciumanku. Hal itu membuat cacing-cacing di perutku memberontak. Tanpa menunggu lama, aku mengambil sendok dan memakan kwetiawku dalam diam.

I like it when you are so excited to eat your favorite food,” ujar Jehan sambil menatapku dengan lamat. Aku benar-benar salah tingkah dibuatnya. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan malu-malu semacam ini karena intensitas pertemuanku dengan Jehan benar-benar sedikit. Dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri, hingga dia lupa bahwa aku juga ingin masuk ke dalamnya.

Aku memutuskan untuk tidak menanggapi kata-kata Jehan yang membuatku salah tingkah dan melanjutkan kegiatan makanku. Jehan menyerah karena aku tidak meresponsnya sama sekali. Akhirnya, dia juga ikut memakan makanannya di sampingku. Kami berdua duduk bersebelahan di atas kasurku.

Ketika kami sudah menyelesaikan kegiatan masing-masing, terdapat keheningan yang cukup panjang. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, menimang-nimang apakah yang harus aku lakukan dengan hubunganku yang hanya berjalan satu arah. Aku masih sangat menyayangi Jehan, sangat, bahkan kata-kata pun tidak bisa mendeskripsikan seberapa berarti Jehan untukku. Namun, apakah Jehan memikirkan hal yang sama denganku?

Let’s strolling around the city tonight.” Aku mengajaknya secara tiba-tiba.

Jehan yang sedari tadi juga tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba menoleh dengan terkejut. Lalu, sebuah senyum terbit di bibirnya.

Let’s go.”

Kami berdua berjalan keluar indekos setelah aku memakai jaketku. Seperti dugaanku, udara di luar cukup dingin hari ini. Angin berembus dengan cukup kencang. Langit pun terlihat sangat mendung. Sepertinya beberapa saat lagi akan turun hujan.

Aku mengusap-usap tanganku karena merasa kedinginan. Meskipun aku telah memakai jaket yang cukup tebal, tetapi hal itu tidak mencegah angin yang ingin menyelimuti tubuhku. Tiba-tiba, Jehan meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Aku merasakan hangat di tanganku, dan juga di hatiku.

It’s been a long time since we did this. 3 months ago? 5 months ago?”

I’m sorry.” Jehan menimpali perkataanku dengan pelan. Dia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tanganku. Entah mengapa, aku bisa merasakan ketakutan Jehan lewat genggamannya, tetapi aku tidak bisa menjelaskan apa yang kini dia takutkan.

Aku mengajak Jehan untuk duduk di sebuah bangku taman. Setelah kami duduk, Jehan menarik kepalaku untuk bersandar ke pundaknya. Aku hanya menurutinya saja. Masih terasa sangat nyaman seperti dulu.

Jehan menengadahkan kepalanya, melihat langit yang kini semakin diselimuti oleh awan gelap. Jehan menghela napasnya berkali-kali, menandakan bahwa dia sedang gelisah karena memikirkan sesuatu yang membuatnya takut.

What are you afraid of?” tanyaku.

You know me so well, huh?”

Aku berdecak. “Just answer it.”

Jehan melihatku yang masih bersandar di pundaknya. “I’m afraid of losing you.” Jehan menjawab pertanyaanku dengan lemah.

Aku menghela napas dengan pelan, lalu kembali duduk dengan tegak. Aku tahu ke mana arah pembicaraan Jehan. “Sedari awal kamu memang udah kehilangan aku, kan? Kamu yang ninggalin aku duluan. Jadi, kenapa sekarang kamu baru ngerasa takut kehilangan aku?”

Jehan bergeming, tak mampu menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibirku.

All this time, I always tried to understand you, I always tried to understand that you have another things to take care of, I always tried to understand that you still need time to do things you like. Aku gak pernah melarang kamu, aku gak pernah melanggar privasi kamu, aku selalu menghargai apa yang kamu lakuin, tapi kamu yang gak kasih batas ke diri kamu sendiri sampe kamu kebablasan, sampe kamu lupa kalo kamu punya aku. Kamu batalin janji kita seenaknya, kamu ninggalin aku sendirian waktu kita jalan berdua, kamu gak pernah peduli kalau aku sakit, kamu bahkan gak pernah sekadar nanya apakah aku baik-baik aja sama hubungan kita? Kamu ninggalin aku sendirian di dunia yang luas ini, aku sampe bertemen baik lagi sama yang namanya kesepian.”

Aku tidak bisa membendung air mataku ketika bibirku menumpahkan kata-kata yang selama ini aku pendam. Hanya dia satu-satunya orang yang aku andalkan untuk menghilangkan rasa sepi yang selama ini menyelimutiku, hanya dia satu-satunya orang yang memiliki hatiku sepenuhnya, hanya dia satu-satunya orang yang aku inginkan untuk berada di sampingku. Namun, sepertinya aku bukanlah satu-satunya orang yang dia harapkan kehadirannya.

What’s the point of pur relationship then?”

Jehan langsung memelukku dengan erat sambil mengelus pelan rambutku setelah aku mengatakan hal itu. Aku benar-benar terisak di dalam pelukannya. Pelukan ini masih terasa sama hangatnya, tetapi aku tetap tidak bisa mendapatkannya sesering dulu.

Lena, I’m so sorry. I really didn’t mean to hurt you this bad. Please … don’t.

Jehan mengatakan itu dengan suaranya yang parau dan bergetar. Sepertinya dia sedang menahan tangisnya. Hatiku benar-benar remuk redam karena berada di situasi seperti ini, tetapi hal ini harus segera diakhiri.

You can’t even explain anything to me. You can’t explain why all this time you are busy with your own business,” kataku dengan parau. “So, let’s break up.”

Bersamaan dengan kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulutku, petir berbunyi dengan menggelegar. Dunia seakan tahu bahwa salah satu penghuninya sedang dirundung pilu.

Bahu Jehan bergetar, laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya padaku. Isak tangisnya terdengar hingga telingaku. Kami berada dalam posisi seperti itu selama beberapa detik sampai akhirnya Jehan melepaskan pelukannya dan menatapku dalam. Dia menghapus air mata yang telah menganak sungai dari wajahku. “If it’s the only thing that can make you happy, I will do it then,” ujarnya sambil memaksakan senyum.

Aku juga ikut menghapus air mata Jehan yang mengalir begitu deras. Aku tahu dia sama sakitnya, tetapi tidak ada gunanya juga mempertahankan hubungan yang hanya berjalan satu arah. Aku yakin Jehan akan baik-baik saja setelah ini, karena dia masih memiliki hal yang disukainya untuk bertahan hidup. Aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku perlu mengkhawatirkan diriku sendiri.

I believe you can live your life with or without me. So, goodbye, Jehan.

Aku bangkit dari dudukku lalu berjalan menjauh dari Jehan. Bersamaan dengan itu, hujan turun dengan derasnya. Langit seakan berempati dengan ikut menangis bersamaku malam ini. Di sini, di bawah rintik hujan, aku mengakhiri perjalananku dengan Jehan. Di sini, di bawah rintik hujan, aku merelakan kepergiannya meski ditemani oleh perasaan yang hancur berkeping-keping

PART 2

Inspired by Alone in This World

Young K ft. Song Heejin

Hidden Colors of Yours

I remember it when I met you on that shinny day. You were talking with so many people there and everyone seemed to really admire you, the way you talk, the way you smile, and the way you appreciate other people’s existence. And I was there, watching you from afar, admiring you too. It was so endearing when I finally got to feel something in my heart after being numb all this time. You were the definition of sunshine that everyone would like, including me.

Then suddenly I got the chance to talk to you, to get to know you more than anyone else. The way you always took care of me, the way you always asked how was my day, the way you always paid attention to every little detail in me, made me fall deeper and deeper. I realized that you gave me the color like that red sunset in you when my world has spread black. Whenever I fell down, you always gave me the encouragement words. Whenever I felt like I’m not enough, you were there, sitting beside me, and gave me a pat and hug while whispering that I had done my best. You accepted all my flaws, you accepted me as the way I am. Never I’m afraid nor embarrassed to show you my true colors.

But at that cold and suffocating night, I heard you screaming upstairs. I run to your room as fast as I could. Your scream made my heart shattered into pieces because you looked so tormented. Turned out you had a bad dream that made your trauma come to attack you. You hugged yourself while sobbing uncontrollably. You kept repeating that you don’t want to be in this world again, you keep repeating that you already lost all the colors in your life and the reason to live. “I had been in a darkness for a long time. I’m so exhausted being haunted by my past,” he said.

I had never seen you being hysterical like this and it made me so broken. You never showed yourself when you are on your lowest point. Never I imagined that you would suffer this much. All this time you always covered yourself with that beautiful colors and a shinny face. What had you actually been through so far? Why did you never tell me about your hidden colors? Why did you hide it from me?

I moved slowly and started to give you a warm hug. Tears were still in our eyes. Not a single word came from my mouth, but here I was trying to bring forward my strength to you.

“Everything would be fine, I promise,” I whispered to him. “Now please let me take care of you, to hold your hand when you fall, to give you the warmest hug when you feel cold, to guide you when you starting to lose yourself, to give you color so you won’t be in the dark anymore. It’s now my turn. I won’t go anywhere nor getting farther away.”

I will always stay here on your side through storm and hardship. It’s my turn to give you every colors you need to keep you alive.

Inspired by: Colors – Day6

Denpasar, May 14th 2022

My Favorite Instrumentalist

Read My Perfect Lyricist

He is my favorite instrumentalist
He is the descendant of a great musician
He always hugs me with his melody
Warmly warm
Safely safe

He is my favorite instrumentalist
He always sings me to sleep with his airy voice
He keeps singing until it becomes my lullaby
Comfortably comfort
Softly soft

He is my favorite instrumentalist
He plays my words as a lyric for his instrument
He tells the world about it through his music
Loudly loud
Proudly proud

He is my perfect instrumentalist

Wayupd

June 17th, 2021

My Perfect Lyricist

She is my perfect lyricist
She is the descendant of a great poet
She is thirsty for the solitude
Melancholically melancholic
Silently silent

She is my perfect lyricist
She describes myself perfectly with her words
She tells my whole life story in her blood
Beautifully beautiful
Poetically poetic

She is my perfect lyricist
She writes our story well on my paper
She keeps reading it when she feels down
Unforgettably unforget
Eternally eternal

She is my favorite lyricist

5th March 2021

– w a y u p d

TRUE COLORS

The representation of my inner self.

This painting on the wall reflects my inner self with several colors

And when you dig deep into the details,

You will see more, more magnificent colors that represent blisses,

Like they say, “Life is full of colors,

Take out your canvas and paint the world like a rainbow.”

Based on that, I’m trying to figure things out

To prove that it’s not a nonsense.

“Do I have my magnificent true colors,

Like the painting did?”

I dig deep,

Dig,

And keep digging,

To the deepest point of my truly inner self.

Why do I just find four colors that represent sorrows?

—it’s black

means that myself has been in the dark for a long time,

and don’t know how to find the lights.

—it’s blue

means that myself is addicted to the tears that running out from my eyes, all the time,

with nothing can wipe it away.

—it’s grey

means that myself is something with no clear purpose,

what to reach and what to leave.

—it’s white

means something that gets dirty easily,

by the monsters that are always lurking in mind.

I have the willing to change my own true colors,

In my inner self,

Too bad, it’s not a clear canvas from the first.

True colors are true colors. No one can change it, even yourself.

— W A Y U P D

January 9th 2021

9.35 PM

The Moon and The Clouds

There was a time when he was in solitude

In a magnificent castle of his mind

In a darkness atmosphere of his soul

The moon used to be his very, very, best friend

The clouds used to be his loyal guardian knight

That could fix the complicated thread of his feeling

That could accompany him when he fought his pain

But now, he’s both the moon and the clouds itself.

Dedicated to my best friend in heaven, Dashiell Jean-Baptiste.

00:54

December 16th, 2020.